Jalan Lintas Sumatera Part 1

Selamat Malam,

Kali ini gw akan cerita pengalaman dari Pak Paiman. Beliau adalah supir bis yang melintasi di Jalan Lintas Sumatera. Banyak pengalaman aneh dan menyeramkan yang pernah dia rasakan, salah satunya akan gw ceritakan sekarang.

Yuk simak.

Ingat, jangan pernah baca sendirian karena kadang mereka gak hanya sekadar hadir dalam cerita.

***

Bis ini aku pacu dengan kecepatan sedang, menembus pekat gelapnya sisi kota. Aku melihat spion dalam, hanya tinggal beberapa penumpang saja yang tersisa. Sementara Yanto masih dalam posisi yang sama dari beberapa saat lalu, berdiri diam di samping pintu keluar bagian depan.

Lampu di dalam bis kami biarkan dalam keadaan mati, memang biasanya seperti itu, keadaan menjadi gelap, hanya kilatan cahaya dari luar yang membantu penerangan.

Jalur lintas Sumatera ini menjadi jalur yang sudah kami arungi selama nyaris lima tahun terakhir, tapi walaupun begitu aku tetap saja merasakan sedikit was-was setiap kali melintasi banyak bagiannya. Memang, beberapa kota besar dan kecil kami lewati dalam perjalanan, namun hutan lebat belantara manjadi porsi pemandangan lebih banyak, dengan kondisi jalan berkelok menanjak dan menurun membelah gunung.

***

Tombol klakson aku tekan sebanyak tiga kali, ketika beberapa belas meter di depan terlihat jembatan yang berdiri kokoh  di atas sungai yang besar.

~Kenapa harus begitu? Kenapa harus menekan klakson ketika akan melintasi jembatan?

Sebagai supir bis malam, itu sudah menjadi suatu hal yang harus kami lakukan, artinya kami mengucap “permisi”. Permisi kepada siapa?, Konon katanya setiap jembatan ada “penunggu”-nya, kita sebagai tamu harus bersopan santun dengan si penunggu jembatan. Aku sih percaya percaya saja, intinya aku gak mau kalau nantinya akan terjadi apa-apa kalau sampai gak membunyikan klakson.

Tapi, akhirnya lama-kalamaan menekan tombol klakson menjadi suatu keharusan, karena beberapa kali aku dan Yanto melihat dan mengalami kejadian ketika sedang melintasi salah satu jembatan besar di perjalanan.

***

===Pada suatu malam di pertengahan tahun 1996===

“Ngantuk kamu, To?” Tanyaku kepada Yanto yang berdiri di samping pintu depan.

“Gak Bang, hehe, tadi kan sudah minum kopi. Abang ngantuk gak? Mau gantian Bang?” Jawabnya diakhiri dengan pertanyaan.

“Aman, To. Bisa lihat monas ini mata hahaha.” Jawabku sambil terbahak.

Beberapa menit lagi jam dua belas tengah malam, beberapa jam yang lalu kami baru saja meninggalkan kota Jambi, menuju kota Medan seperti biasanya. Seperti biasanya juga, di kota Jambi tadi kami beristirahat cukup lama, aku memarkirkan bis di restoran yang sudah jadi langganan, memberikan kesempatan bagi penumpang untuk sekadar meluruskan badan beristirahat dan makan malam tentunya.

Ini juga menjadi kesempatan aku dan Yanto untuk beristirahat, melepas penat yang ada hasil dari perjalanan panjang sebelumnya.

***

Singkatnya, sekitar jam sembilan istirahat selesai, lalu kami melanjutkan perjalanan.

Kali ini penumpang tergolong sedikit, hanya setengah dari seluruh kursi yang terisi sejak dari Jakarta kemarin. Tapi walaupun begitu, kami harus tetap berangkat mengantar penumpang sampai ke kota Medan.

***

Sesekali aku melirik kaca spion dalam, melihat keadaan penumpang, ada yang tertidur ada yang masih kelihatan terjaga, ada yang duduk sendiran ada pula yang duduk berdua. Tentu saja ada banyak bangku kosong, dan yang aku tahu pasti deretan kursi belakang benar-benar dalam keadaan kosong, gak ada orang sama sekali. Itu pengamatanku ketika kami lepas dari Jambi.

“Keseruan” dimulai ketika bis memasuki kawasan hutan belantara, hutan yang sangat gelap karena gak ada lampu sama sekali. Kanan kiri hanya ada pepohonan besar yang berdiri membentang sepanjang sisi jalan. Memang, ada beberapa bangunan kecil kami lewati, ada yang berlampu ada nggak, ada yang kelihatan berpenghuni ada yang gelap gulita, kosong. Jarak satu bangunan dengan bangunan lainnya sangat jauh, bisa sekitar 500 meter atau bahkan lebih.

Image by Dorothe from Pixabay

Sinar lampu dari kendaraan yang sesekali muncul dari arah berlawanan, berkelebat menerangi jalan dan bis yang ku kendarai ini. Cahaya lampu yang sangat menyilaukan, karena nyaris semua kendaraan menggunakan lampu jauh untuk membantu penglihatan.

Biasanya, kalau sedang melintasi wilayah hutan seperti ini, kami yang sebelumnya sedikit merasa lelah dan ngantuk akan segar seketika, ketegangan akan suasana sepi dan sedikit mencekam mendorong adrenalin ke titik atas. Membuat mata dan pikiran jadi terjaga penuh.

Belum lagi jalan yang berbelok ke kanan dan ke kiri, menanjak dan menurun membelah hutan dan perbukitan, membuatku terpaksa harus berkonsentrasi penuh memegang kendali kendaraan. Walaupun injakan pedal gas gak terlalu dalam, yang menjadikan laju mobil juga tidak terlalu cepat, tetap saja aku harus fokus menatap gelaran jalan beraspal yang sesekali berlubang.

“Hati-hati, bang. Di bawah sudah jembatan asem.”

Suara Yanto memecah kesunyian, sedikit mengagetkanku yang sedang berkonsentrasi penuh.

“Iya, To,” Jawabku pendek.

Benar kata Yanto, kami sudah nyaris sampai di jembatan asem. Satu jembatan besar berkonstruksi besi dan beton, salah satu jembatan tua yang melintas di atas sungai besar. Kami menyebutnya jembatan Asem karena ada satu pohon asem besar dan rindang yang berdiri kokoh di ujungnya, pohon ini jadi seperti jadi batas wilayah jembatan pada salah satu sisinya.

Jalan menuju jembatan asem ini juga cukup menyeramkan. Sekitar lima ratus meter sebelumnya kami akan tiba di tempat seperti dataran tinggi, dari tempat tinggi ini akan terlihat jalan yang menurun tajam, menuju jembatan asem. Jadi, sebelum sampai di Jembatan, jalanan menukik menurun tajam sepanjang kira-kira 500 meter, berbelok dua kali ke kanan dan ke kiri, baru kemudian sampai di Jembatan asem. Jadi, jembatan ini letaknya di bagian bawah satu lembah yang dalam, jalanan akan menanjak tajam lagi setelah melewatinya.

Banyak cerita seram yang beredar di sini, ada pula cerita sedih tentang banyak kecelakaan yang pernah terjadi. Banyak kendaraan yang gagal melewati jembatan dengan selamat, ada yang masuk ke dalam sungai, ada yang menabrak tebing, beberapa diantara kecelakaan itu katanya disebabkan rem kendaraan yang gak bekerja dengan semestinya. Banyak juga kecelakaan yang gak memiliki sebab jelas.

Begitulah..

***

Udah baca belum:

Dalam keremangan cahaya, aku berkonsentrasi penuh untuk menuruni jalan menurun menukik tajam. Di kanan kiri banyak pohon besar dan rindang, berdiri kokoh manakutkan, seperti hendak berbicara dalam diam, sungguh seram.

Tanpa menyentuh pedal gas, aku mengendalikan kecepatan bis hanya dengan menginjak rem, membiarkan roda-rodanya berputar mengikuti gravitasi yang terus menarik ke bawah. aku memutar roda kemudi ke kanan dan ke kiri, mengikuti kelokan jalan, menuntun kami untuk terus turun.

Akhirnya, Jembatan asem sudah kelihatan, hanya tinggal beberapa belas meter di hadapan, kami dapat melihat fisiknya tersiram cahaya lampu dari bis, bis besar yang kami tumpangi, kendaraan satu-satunya yang melintas lembah yang menakutkan ini.

“Hati-hati, bang..” Ucap Yanto pelan, wajahnya terlihat tegang memperhatikan jalan, berdiri menatap kaca depan.

Aku diam, hening tanpa suara, terus fokus memperhatikan jalan. Aneh, padahal ini bukan yang pertama kali, sudah beberapa kali aku lewat wilayah ini, tapi entah kenapa perasaanku gak enak, malam ini hawanya beda dari biasanya. Ada apa? entahlah..

Jalan menjadi datar kembali ketika bis semakin mendekati jembatan, pedal rem kuangkat, kaki berpindah menekan pedal gas untuk menambah kecepatan.

Satu pohon asem besar berdiri kokoh di sebelah kanan, berdiri tegak di dalam gelap, pertanda kalau beberapa meter lagi bis akan melintas di atas jembatan. Jembatan tua berbahan besi yang kelihatan masih kokoh.

Ketika jalan mulai datar inilah, ada kejadian aneh, kejadian yang hanya sekelebat, hanya beberapa detik.

Persis beberapa meter sebelum bis menginjak jembatan, aku melihat ada dua orang yang sedang berdiri di pinggir sebelah kiri jalan, berdiri dalam gelap karena memang gak ada lampu jalan atau penerangan lain, cahaya hanya bersumber dari lampu bis ini.

Aku yakin itu orang, laki-laki dan perempuan yang berdiri berdampingan, berdiri diam menghadap ke seberang.

“Kamu lihat, To?” Tanyaku kepada Yanto, untuk memastikan.

“Lihat, bang. Dua orang kan?. Ngapai mereka tengah malam di tempat itu ya?” Jawab Yanto dengan logat medan kentalnya.

Lega aku mendengarnya, berarti bukan hanya aku yang melihat mereka.

Beberapa detik setelah percakapan singkat itu, ada sesuatu yang terjadi..

Entah apa penyebabnya, Mesin bis tiba-tiba mati..!

Sontak aku langsung menginjak rem, mengendalikan bis untuk menepi.

Sukurlah, aku dapat menepikan kendaraan dengan mulus, karena memang gak terlalu cepat juga lajunya.

“Ada apa, bang?” Tanya Yanto penasaran.

“Gak tau ini, gak ada ujan gak ada angin kok tiba-tiba mesin mati.” Jawabku ketika bis sudah benar-benar berhenti.

Di tengah jembatan besar ini, tengah malam, sepi, kami berhenti..

***

Ada yang aneh ketika aku melihat ke belakang, ketika hendak melihat keadaan penumpang. Ternyata seluruh penumpang masih dalam keadaan tidur, sama sekali gak ada yang terbangun karena kejadian ini, semuanya tidur.

Baguslah, pikirku dalam hati. Jadi kami bisa mencari tahu penyebab mesin mati dan coba memperbaikinya dengan tenang tanpa gangguan.

“Aku cek mesin ya Bang.” Dengan sigap Yanto langsung membuka pintu dan turun dari bis.

Sementara aku masih penasaran, lantas mencoba memutar kunci sekali lagi, tapi tetap saja belum membuahkan hasil, mesin gak juga mau menyala.

Melirik kaca spion luar yang sebelah kiri dan kanan, niatku untuk melihat keadaan Yanto di luar, apa yang sedang dia lakukan. Namun tanpa hasil, pekatnya gelap membutakan penglihatan, aku gak bisa melihat apa-apa, Yanto sama sekali gak terlihat.

Ya sudah, lalu aku memutuskan untuk ke luar mobil juga.

Sebelum membuka pintu, beberapa detik aku menengok ke belakang, sekali lagi aku ingin memeriksa keadaan penumpang. Belum berubah, penumpang yang jumlahnya belasan itu tetap dalam posisinya, tertidur lelap.

Udara dingin menusuk tulang, angin bergerak menampar pelan wajah dan tubuh ketika kaki sudah menginjak aspal kasar jalanan di luar. Perlahan aku menutup pintu, menghindari gaduh suara yang membangunkan.

Di tengah malam ini, sama sekali gak ada kendaraan selain kami, sama sekali gak ada kendaraan yang melintas di jalan ini, di jembatan ini. Langkah kakiku yang sedang berjalan menuju belakang bis menjadi suara satu-satunya suara yang terdengar.

Sepi..

Hening..

Dead silence..

***

Akhirnya aku sampai di belakang bis, tempat di mana mesin mobil berada. Aku melihat pintu mesin dalam keadaan terbuka, tapi gak ada Yanto.

Ke mana Yanto? kok gak kelihatan..?

Saat itulah aku lantas melihat sekeliling, mencari keberadaannya.

Gak lama, terlihat ada kilatan lampu senter di belakang, beberapa belas meter di belakang bis. Aku yakin kalau yang memegang lampu senter itu adalah Yanto, karena gak ada siapa-siapa lagi.

Benar, itu Yanto. Walaupun dalam posisi membelakangi, aku bisa mengenali dari postur dan cara berjalannya.

“Tooo..!!, mau ke mana kamu?” Setengah berteriak aku memanggilnya.

Jarak kami sekitar 30 meter, Yanto sepertinya sudah hampir sampai di ujung jembatan, ujung awal tempat kami masuk tadi. Dia sudah sangat dekat dengan dua orang yang sedang berdiri di pinggir jalan, dibantu kilatan sinar lampu senter dan serpihan cahaya langit, aku juga dapat melihat mereka, sekilas.

Iya, dua orang yang kami lihat tadi, sesaat sebelum melintas jembatan. Ternyata mereka masih berdiri di tempatnya, berdiri diam tapi gak lagi menghadap ke seberang jalan, kali ini mereka mengadap  Yanto, ke arah kami.

Mendengar teriakanku, Yanto menghentikan langkahnya. “Jemput penumpang, bang.” Begitu jawabnya, dengan setengah berteriak juga.

Saat itulah tiba-tiba perasaanku jadi sangat gak enak. Di tengah hutan, gak ada rumah apa lagi perkampungan, tengah malam, kok bisa ada orang yang berdiri di pinggir jalan?

Perasaanku sangat gak enak..

Bergegas aku berlari kecil mendekat ke tempat Yanto berdiri.

“Sudah To, gak usah kau dekati mereka. Ayok kembali saja ke bis, kita coba memperbaiki mesinnya.” Ucapku ketika sudah berada di hadapan Yanto.

“Iya bang.” Jawab Yanto pelan, sepertinya dia mengerti gelagatku.

Lalu kami berjalan menuju bis.

Sesampainya di belakang bis, Yanto mulai coba memeriksa mesin, mencari tahu penyebab kenapa tiba-tiba mogok. Sementara aku memegang lampu senter, mengarahkan cahayanya ke mana Yanto mau.

***

Sekitar 10 menit sudah berlalu..

“Kayaknya gak ada yang rusak bang, semuanya bagus. Kenapa ya?” Begitu kata Yanto dengan mimik kebingungan.

“Aku coba menyalakan lagi saja ya, siapa tahu sudah bisa.” Aku bilang begitu.

Tapi sebelum melangkahkkan kaki ke depan, ke ruang kemudi, rasa penasaran memaksa aku mengarahkan lampu senter ke tempat di mana dua orang misterius tadi berada, dua orang yang tadinya akan dijemput oleh yanto, dua orang yang berdiri di ujung jembatan.

Memicingkan mata untuk memperjelas penglihatan menembus gelap, kami melihat kalau ternyata mereka sudah gak ada di tempatnya lagi, menghilang..

Aku dan yanto saling berpandangan, tanpa bicara tapi kami tahu apa yang ada di dalam pikiran masing-masing.

“Kamu tunggu sini, aku ke depan menyalakan mesin. Kalau mesin menyala, kamu langsung ke depan.”

Yanto mengangguk pelan.

***

Setelah duduk di atas kursi pengemudi, aku langsung memutar anak kunci.

“Greeeeeeng….” Mesin menyala tanpa kendala, menyala normal seperti sedia kala.

Senang dan lega hati ini..

Gak lama kemudian, Yanto masuk ke dalam bis.

Segeralah aku menginjak pedal gas menjalankan kendaraan, melintasi jembatan, melewati dan meninggalkannya tanpa halangan.

Setelah jembatan, jalanan kembali menanjak agak tinggi, menikung cukup tajam ke kanan dan ke kiri, gelap masih menyelimuti. Aku dan Yanto masih diam tanpa kata, memiliki kecemasan yang sama, selama masih berada di tempat yang sunyi dan menyeramkan ini.

Aneh, aku melihat seluruh penumpang masih dalam keadaan tertidur lelap. Kok bisa? Entahlah..

***

Sekitar sepuluh menit menjauh dari jembatan, barulah terlihat satu dua mobil yang datang melintas dari arah berlawanan, setelah sebelumnya sama sekali gak ada kendaraan selain kami.  Sinar lampu dari kendaraan yang  datang dari arah berlawanan ini, memberikan efek cahaya yang sekelebat menerangi isi dalam bis kami.

Di saat inilah, beberapa kali aku perhatikan Yanto menoleh ke arah bagian belakang bis, ke arah kursi paling belakang. Setelah menoleh dan kembali melihat ke depan,  wajahnya langsung kelihatan cemas, gusar, ketakutan.

“Ada apa, To?” Tanyaku penasaran.

“Ada penumpang baru di belakang, bang.” Setengan berbisik Yanto mengucap kalimat itu.

Penumpang baru? Kapan naiknya?

Lantas aku coba melihat ke belakang, melihat melalui spion dalam. Gelap, aku sama sekali gak bisa melihat apa-apa.

“Coba nyalakan lampu belakang, To.” Rasa penasaran yang membuatku memunculkan ide itu.

“Yakin, bang?” Tanya Yanto masih dengan suara setengah berbisik.

“Iya” Jawabku.

***

Tangan kanan Yanto menuju tombol lampu kabin bagian belakang, coba memberikan penerangan agar aku dapat melihat situasi.

Akhirnya lampu menyala, walaupun redup.

Sambil terus fokus mengendalikan bis dan tetap melihat ke depan, beberapa detik aku melirik ke spion dalam, coba melihat ke kursi belakang.

Aku menahan nafas, kaget.

Ternyata ada orang penumpang baru, laki-laki dan perempuan, duduk berdampingan di kursi paling belakang. Kursi paling belakang yang aku yakin sepanjang perjalanan sebelum jembatan, dalam keadaan kosong. Aku sangat yakin..

Dua orang “Penumpang baru” itu duduk tegak menghadap depan, terjaga karena matanya terbuka, gak dalam keadaan tidur seperti penumpang lainnya.

Dari penampilannya, mereka sangat mirip dengan dua orang yang kami lihat berdiri di pinggir jalan sebelum jembatan tadi, amat sangat mirip.

Jantungku berdegup kencang, menyadari kalau mereka bukan penumpang biasa.

“Matikan lampunya, To.” Ucapku palan.

Kemudian yanto menekan tombolnya, kemudian keadaan kembali seperti semula, gelap gulita.

Di sisa perjalanan, kami gak berbicara satu sama lain, tertelan keheningan mencekam.

Aku juga gak berani melirik kaca spion..

***

30 menit kemudian, di kanan kiri jalan sudah kelihatan beberapa rumah penduduk, sepertinya sebentar lagi kami akan memasuki kota kecil.

“Pak kalau ada pom bensin berhenti dulu sebentar ya, saya harus ke toilet.”

Suara dari seorang penumpang di belakang memecah kesunyian.

“Iya Pak,” jawabku kemudian. Kebetulan juga, aku sudah hapal sekali kalau kira-kira beberapa kilometer di depan memang ada pom bensin, rencananya aku akan sekalian mengisi solar di sana.

Singkatnya, akhirnya kami sampai di pom bensin.

Setelah bis sudah terparkir, beberapa penumpang langsung bangun dari tidurnya dan turun dari bis.

Yanto menyalakan seluruh lampu dalam, kabin menjadi terang. Reflek, kami langsung melihat ke arah kursi belakang.

Ternyata “Penumpang” baru itu sudah gak ada di tempatnya lagi, menghilang.

***

Begitulah satu peristiwa yang dialami oleh Pak Paiman di jalan lintas Sumatera. Masih banyak kejadian seram lainnya, kapan-kapan gw cerita satu persatu.

Udahan dulu ya. Met bobo, semoga mimpi indah.

Salam,

~Brii~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *