“San, ada pocong di kamar Pak Rahman,” Nyaris berbisik aku bilang begitu.

“Hah? Serius? Lo tau dari mana?” Sandi langsung total terjaga.

“Gue liat sendiri tadi, waktu balik dari kamar mandi.” Masih gemetar aku berbicara.

Tiba-tiba..

“Creek, creek, creeekk.”

Suara itu kedengaran lagi, aku dan Sandi mendengarnya..

“Itu bukan suara jangkrik San.” Ucapku.

“Trus, suara apa?” tanya Sandi mulai ketakutan juga.

“Kayaknya itu suara pocongnya.”

“Ah, gila lo. Serem amat,”

“Coba liat aja sendiri kalo gak percaya.”

Entah apa yang ada di pikiran Sandi, dia malah berdiri lalu berjalan mendekati pintu, kemudian membukanya perlahan.

Sandi mengintip ke luar..

Gak lama setelah mengintip, Sandi lalu memandangku dengan wajah pucat, kelihatan sangat ketakutan..

***

Baca Juga:

Wajah pucat Sandi terlihat jelas dalam balut remang cahaya, tubuhnya berdiri kaku dengan tangan masih memegang daun pintu, menahan supaya terus terbuka. Entah apa yang membuatnya seperti itu, yang aku tahu pocong masih berada di kamar Pak Rahman waktu terakhir aku melihatnya. Apakah Sandi melihat hal lain lagi yang menyeramkan? Saat itu aku belum tahu.

Aku yang duduk di atas tempat tidur ~masih merasakan ketakutan sisa kejadian sebelumnya~, agak sedikit penasaran ingin tahu apa sebenarnya yang sedang dilihat Sandi.

“San,..” Dengan suara pelan aku memanggil.

Sandi diam saja, gak bersuara.

“Sandi.” Sekali lagi aku memanggilnya.

Namum tetap Sandi gak menjawab.

Akhirnya, perlahan aku berdiri lalu berjalan mendekati Sandi.

Aku berdiri di belakang Sandi, ketika dia tahu aku ada di belakangnya, tangannya kemudian mengeser pintu sedikit lagi, menambah celah untukku mengintip ke luar.

“Ppp…oo..cccc…oooo…nnggg, Do. Ddddeppaan lleeemmaarrii,”

Suara Sandi terbata-bata, nyaris berbisik dia bilang begitu.

Suasana ruang tengah sudah lebih gelap, dibandingkan sebelumnya ketika aku ke kamar mandi tadi, entah kenapa. Aku lalu mengarahkan pandangan ke tempat yang Sandi maksudkan, depan lemari.

Lemari kayu yang bentuknya besar, berwarna gelap, lemari yang lebih tepat disebut lemari pajangan, letaknya di sudut  belakang ruang tengah, menempel dinding yang membatasi ruang tengah dengan dapur. Aku terus coba untuk menajamkan penglihatan, remangnya sungguh sangat membatasi pandangan.

“Gue gak liat, San.” Ucapku, sangat pelan.

“Pojok, Do. Deket jendela.” 

Dekat jendela? Baiklah, berarti aku harus agak menggeser pandangan ke kanan, letak di mana jendela besar berada.

Detik berikutnya, walau samar masih membalut, perlahan aku mulai bisa menangkap objek yang Sandi maksud.

Di pojok ruangan, di depan lemari dekat jendela, aku melihat sosok tinggi besar berbungkus kain putih kusam dengan ikatan di beberapa bagian. Iya, aku melihat pocong.

Bagian wajahnya hanya terlihat hitam gelap, pocong itu diam berdiri seperti memperhatikan kami yang tengah ketakutan mengintip dari balik pintu.

Belasan detik kami habiskan dalam diam, meregang nyali tenggelam dalam ketakutan. Ruang tengah menyemburkan suasana mencekam menusuk sampai ke rongga bathin. Gak ada yang bisa kami lakukan.

“Tutup pintunya, San.” Akhirnya aku bicara, sangat pelan.

Tanpa menjawab, Sandi lalu mulai menutup pintu. Tapi, sebelum pintu benar-benar tertutup, kami melihat pemandangan yang sungguh sangat membuat ingin menangis. Kami melihat kalau pocong mulai bergerak perlahan, maju mendekat ke pintu kamar!

“Cepetan tutup, San.” Aku bilang begitu supaya Sandi bergegas menutup pintu.

Pintu akhirnya tertutup..

Tapi tiba-tiba kami mendengar suara yang menyeramkan itu lagi, “Creek, creek, creeekk”, sangat jelas, sumbernya seperti berada persis di balik pintu.

Kemudian kami melangkah mundur, manjauhi pintu. Bukan di atas tempat tidur, tapi kami lebih memilih duduk di atas lantai, tepat di bawah jendela kamar, di sudut itu kami lanjut diam dalam cengkram ketakutan.

Jendela kamar yang tepat berada di atas kepala, terbuat dari kayu yang memiliki rongga-rongga memanjang untuk sirkulasi udara. Sesuai dengan fungsinya, melalui rongga-rongga ini angin malam yang dingin mencekat masuk semilir, hembusannya bertiup meniup tengkuk. Kami yang masih diam terkungkung kecemasan, semakin tenggelam dalam cekam yang terdalam. Terus memandang ke pintu, berharap tetap terus tertutup.

Di bawah pintu, ada sedikit celah, lebarnya mungkin hanya satu sentimeter, tapi dari celah kecil itu sesekali kami melihat ada bayangan berkelebatan, seperti ada sosok yang mondar-mandir di ruang tengah. Sekali, lagi, kami hanya terdiam.

“Gue gak tahan, Do. Mendingan kita cabut dari sini.”

“Cabut ke mana? Kita di tengah antah berantah gini.” Jawabku.

“Kita kabur lewat jendela aja.”

Nyaris berbisik, aku dan Sandi akhirnya terlibat percakapan.

Terbersit sedikit keinginan untuk ikut ajakan Sandi, kabur ke luar melalui jendela. Tapi timbul pertanyaan baru, akan ke mana kami pergi? ditambah kami harus berjalan kaki, karena mustahil naik motor karena kuncinya ada di ruang tengah.

“Gak, San. Gak bisa, kita gak tau harus ke mana.” Jawabku.

“Tapi masa kita mau di sini terus, sih? Seram Do,”

Nada bicara Sandi semakin gemeteran, sangat jelas dia menahan tangis ketakutan.

Aku meraih jam tangan di tempat tidur, jarum pendeknya menunjuk ke angka dua kurang sedikit. Sebenarnya hanya beberapa jam saja waktu subuh tiba, tapi tampaknya waktu akan berjalan sangat lamban.

“Creek, creek, creeekk.”

Sekali lagi, suara itu muncul, setelah beberapa belas menit lamanya gak kedengaran. Kali ini sepertinya sumber suara agak menjauh, gak lagi tepat di balik pintu.

Suasana kembali mencekam..

Aku mengernyitkan dahi, memandang ke arah Sandi, bertanya-tanya, ketika tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, tapi bukan pintu kamar. Lalu pintu mana?

Sepertinya pintu depan. Siapa yang membukanya?

Hening kembali terjadi, suara malam menyeruak sepi.

Tiba-tiba suara pintu terdengar lagi, tapi kali ini diikuti dengan suara “Brakk!”. Bantingan pintu mengagetkan kami berdua.

Lagi-lagi hening..

Benar-benar hening, suara serangga malam pun gak ada yang kedengaran.

Berikutnya, dari kejauhan kami mendengar lolongan panjang anjing hutan, suaranya memecah sunyi, menambah cekam.

Gak ada lagi penampakan dan pergerakan seram, beberapa jam berikutnya kami terus “menikmati” suasana seram itu sampai subuh menjelang. Terornya menusuk sampai ke nadi, melumat meremukkan nyali.

***

Suara perbincangan Sandi dan Pak Rahman ~yang sesekali diselingi gelak tawa~ terdengar dari ruang tengah, membangunkan aku dari tidur. 

Melirik ke jam tangan, ternyata sudah jam delapan pagi.

Jendela kamar terbuka lebar, mentari menyerbakkan sinarnya, menyentuh setiap sudut kamar, manghangatkan. Suara burung bercengkrama di ranting pohon, beberapa di antaranya terlihat mengintip memperhatikan aku yang masih berselimut di atas tempat tidur.

Sungguh merupakan pagi yang sangat indah buatku. Udara bersih dan sejuk terhirup tanpa halangan, menyegarkan raga, membersihkan jiwa. Keadaan yang sangat jarang aku dapatkan di Jakarta, hampir mustahil malah.

Mengesampingkan peristiwa yang baru saja aku dan Sandi alami semalam, suasana pagi di perkebunan karet ini sangat menyenangkan, ya itu tadi, menyejukkan.

Bangkit dari tempat tidur, duduk sebentar di pinggirnya, kemudian aku melangkah ke luar kamar.

“Eh, udah bangun juga Aldo akhirnya, hehe. Mau kopi atau teh?”

Pak Rahman menyapa dengan senyum selebar bahu.

“Biar nanti saya bikin sendiri, Pak, hehe” Jawabku.

Aku lalu ke kamar mandi untuk cuci muka.

Setelahnya, kami bertiga terlibat percakapan santai di ruang tengah. Tapi, sama sekali belum membahas peristiwa seram yang aku dan Sandi alami. Kami belum berani menanyakan ke Pak Rahman, nanti saja kalau sudah di luar rumah.

Percakapan tentu saja membahas hal-hal apa saja yang akan kami lakukan hari itu.

“Hari ini kami akan mengambil sampel tanah dari beberapa bagian lahan, dan sampel karet yang ada di sini Pak, mungkin hari ini itu aja dulu.” Sandi bilang begitu, aku mengangguk setuju.

“Oh, ya sudah. Paling nanti saya bisa menemani sampai siang aja, setelah itu pulang ke kota. Nanti malam ada urusan yang gak bisa ditinggalkan. Besok pagi saya akan balik ke sini lagi.” Begitu kata Pak Rahman.

Aku dan Sandi sejenak berpandangan.

“Jadi, nanti malam kami berdua di sini sendirian, Pak?” Tanyaku, nada cemas.

“Iya, Gak apa kan? Aman kok di sini, hehe.” Jawab Pak Rahman.

“Ya emang kelihatannya aman sih, Pak. Tapi…” Sandi coba memberi kode.

“Tapi kenapa Bang Sandi?”

“Gak Pak, nanti aja.”

Begitulah,

Ya sudah, perbincangan selesai ketika matahari sudah semakin meninggi. Kemudian, sekitar jam 10, kami memulai kegiatan, berkeliling ke setiap sudut lahan perkebunan, mencari semua semua data dan sampel yang dibutuhkan. Dalam prosesnya, Pak Rahman terus menemani sesuai dengan janjinya.

Singkat cerita, gak berlama-lama, sekitar jam dua siang lebih sedikit kegiatan kami selesai, aku dan Sandi sudah mendapatkan semua yang kami butuhkan untuk dibawa ke Jakarta.

Jam dua itu juga kami baru sempat makan siang, makan seadanya hasil masakan Pak Rahman.

Selesai makan, aku yang malam sebelumnya kurang tidur, tiba-tiba sangat mengantuk, karena itulah aku akhirnya pamit untuk istirahat sebentar di kamar, meninggalkan Sandi dan Pak rahman di ruang tengah.

“Oh iya, Bang Aldo, nanti saya pamit pulang ke kota ya, besok pagi balik ke sini lagi,” Begitu Pak Rahman bilang sebelum aku masuk kamar.

“Pak, benar-benar gak bisa semalam lagi temani kami ya?” Ucapku agak memelas.

Tapi Pak Rahman bilang gak bisa, seperti yang dia sudah bilang sebelumnya kalau ada urusan yang gak bisa dia tinggalkan.

Ya sudah, aku dan Sandi hanya bisa pasrah.

Setelahnya, aku masuk kamar untuk beristirahat, lalu tertidur pulas, sangat pulas.

***

Mengucek-ngucek mata, lalu memperhatikan sekitar. Ternyata hari sudah mulai gelap, sinar matahari  yang masuk dari jendela menunjukkan kalau sudah sore.

Lagi-lagi aku melirik jam tangan, dan benar, sudah hampir jam setengah enam. Ya tentu saja, kamar juga mulai gelap.

“Sandi ke mana ya, kok sepi.” Gerutuku dalam hati.

Sekitar tiga jam lamanya aku tertidur pulas, cukup membuat tubuh lebih segar.

Aku lalu ke luar kamar, mendapati ternyata ruang tengah sudah agak gelap.

“Sandi kenapa gak menyalakan lampu sih,” Lagi-lagi aku menggerutu.

Tentu saja, yang pertama kali aku lakukan adalah menyalakan lampu petromak, setelah itu manyalakan lampu lainnya, lampu kamar, dapur, juga lampu teras.

Nah ketika ruang tengah sudah terang, aku melihat ada secarik kertas di atas meja. Di kertas itu ada tulisan tangan, Sandi yang menulisnya, isinya kurang lebih begini:

“Aldo, gue ke kota dulu ya, mau beli barang-barang keperluan kita, ikut Pak Rahman sekalian.Tenang aja, Sebelum malam gue udah balik lagi.”

Begitu isi pesan Sandi.

Ah, sialan. Aku ditinggal sendirian, tega sekali tuh orang.

Setelah membaca pesan itu, aku amat sangat berharap kalau Sandi akan memenuhi janjinya, datang sebelum malam. Tapi ini sudah nyaris jam enam, gelap mulai menutupi perkebunan.

Waktu maghrib tiba, aku langsung menuju kamar mandi untuk berwudhu. Beberapa timbaan dari dalam air sumur aku lakukan untuk memenuhi air dalam bak. Entahlah berapa dalamnya sumur ini, ditambah karena hari sudah gelap aku jadi gak bisa melihat dasarnya.

Selesai berwudhu, aku langsung menunaikan shalat di kamar depan. Kekhusyuan beribadah, sejenak dapat melupakan semua perasaan takut dan cemas yang aku rasakan sejak kemarin.

Akhirnya, malam benar-benar tiba.

Sudah jam tujuh lewat, belum ada tanda-tanda kedatangan Sandi. Aku menunggunya di teras depan, sambil terus menatap ke arah perkebunan karet yang tentu saja sudah gelap gulita. Tapi malam ini agak berbeda, ternyata langitnya cerah penuh bintang, ditambah sesekali terlihat muncul rembulan dari sela-sela rindangnya pepohonan, sepertinya gak ada awan yang menghalangi penampakannya.

Suasana seperti itu, sejenak aku bisa melupakan kalau sebenarnya sedang berada sendirian di tengah tempat antah berantah seperti ini. Sendirian..

Harusnya sudah saatnya makan malam, tapi aku gak merasa lapar, lebih memilih untuk merokok dan minum kopi di teras, sambil menunggu kedatangan Sandi. Tapi, entah sudah berapa batang rokok yang sudah aku habiskan, Sandi belum juga datang.

~Jam sembilan lewat lima belas menit.~

Udara yang sejak sore tadi gak ada pergerakan, kali ini perlahan bertiup, semilir angin mulai menerpa tubuh dan wajah, cukup dingin. Langit dan rembulan yang tadinya sedikit memberi serpihan cahaya, perlahan meredup. Bayang-bayang pepohonan karet yang awalnya dapat terlihat hingga ke barisan cukup jauh, perlahan semakin gelap, aku hanya bisa melihat barisan siluet tipis pekat.

“Gila, ke mana sih Sandi, belum nongol juga tuh orang.” Aku terus menggerutu.

~Jam sepuluh lewat sedikit.~

Udara semakin dingin, dibawa oleh angin sepoy yang bertiup dari depan. Pemandangan? Jangan ditanya lagi, langit sudah gelap total, bintang gak tampak lagi, rembulan sepertinya tertutup awan, jadinya malam semakin pekat.

Di titik ini, aku yang sejak tadi selalu sukses mengelola pikiran agar gak berlari liar bermain di “Wilayah seram”, tampaknya mulai kalah, pikiran perlahan mulai menjelajah gak karuan, terbawa suasana sekitar yang sungguh mulai mencekam.

“Sebatang lagi ah, baru masuk rumah.” Ucapku dalam hati.

Tentu saja, entah sudah berapa baris kalimat makian yang terucap di setiap menit aku menunggu kedatangan Sandi, kesal.

~Jam setengah sebelas~

Aku mencium bau aneh, gak wangi tapi menyengat.

Awalnya gak tahu ini bau apa, tapi lama kelamaan aku sadar dan yakin ini bau apa.

Aku mencium bau kentang, seperti bau kentang yang sedang direbus. Baunya kadang mendekat pekat, kadang semilir menjauh, kadang menghilang, berputar seperti itu selama belasan menit. Aneh, padahal sejak sore tadi aku sama sekali gak merebus apa-apa kecuali air buat kopi, lagi pula di rumah ini gak ada kentang sama sekali.

Lalu bau kentang rebus ini dari mana?

Di tengah hutan perkebunan karet gini siapa yang sedang merebus kentang?

Pikiran mulai melanglangbuana, bermain dengan nyali.

Perasaan juga mulai gak enak, akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.

~Jam sebelas lewat, hampir tengah malam.~

Seharusnya, jam segini aku sedang ngantuk-ngantuknya menuju tidur, tapi kali ini situasinya sangat berbeda, kali ini sungguh sangat keterlaluan kondisinya, menjadikan aku segar bugar tanpa kantuk sedikit pun.

Aku duduk di kursi ruang tengah, berbalut kain sarung, tetap ditemani rokok filter yang sambung menyambung aku sulut. Gak berani masuk kamar, takut.

Sesekali mengintip ke luar jendela, melihat kalau-kalau Sandi tiba-tiba datang. Tapi terus saja aku dikecewakan, Sandi belum juga menunjukkan batang hidungnya.

~Jam dua belas kurang sedikit~

Srek, srek, srek..

Tiba-tiba aku mendengar suara seperti itu di kejauhan. Suara yang terdengar seperti ada orang yang sedang melangkahkan kakinya di atas semak belukar. Sebegitu sepinya keadaan, aku sampai jadi bisa mendengar suara detail seperti ini.

Srek, srek, srek..

Terdengar lagi, setelah beberapa kali kedengaran aku semakin yakin kalai itu memang benar suara langkah kaki. Apakah itu Sandi? Tapi kan dia bawa motor ke kota, kenapa kembalinya jalan kaki? Sepertinya gak mungkin. Ataukah itu penduduk dari desa terdekat? Entahlah..

Ya sudah, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengintip melalui jendela. Penasaran..

Dari celah tirai, aku hanya melihat kosong dan gelap.

Tapi, cekam mulai semakin terasa, sepinya gak biasa, heningnya seperti hendak bicara..

Rasa takut mulai muncul dipermukaan, aku gak lagi bisa mengendalikan, ketika suara langkah kaki di atas semak itu masih terdengar tetapi sama sekali gak terlihat sosok sang empunya langkah.

Mandadak, aku merasakan situasi semakin mencekam, entah karena apa.

Mundur beberapa langkah menjauhi jendela, kemudian duduk di kursi panjang, masih di ruang tengah.

Sudah sejak beberapa menit yang lalu, mungkin nyaris semua doa yang kuhapal sudah terucap pelan, namun ketakutan tetap di kepala gak mau menghilang. Tarikan nafas hanya sebatas leher, gak ada kekuatan untuk menghirup udara dalam-dalam. Keringat dingin mulai mengucur pelan, membasahi kulit kepala turun ke dahi dan wajah.

Aku mulai tenggelam dalam suasana mencekam..

Sendirian..

Di rumah, di tengah perkebunan karet.

Desir udara yang tadinya bertiup bergerak, seketika menghilang, mati. Suara pepohonan yang bergoyang karena angin, tiba-tiba hening, sepi tanpa aba-aba.

Tuhan, lindungi aku, selamatkan aku, berikan kekuatan untuk dapat melalui malam mencekam ini, satu malam lagi.

Sekali lagi, aku mendengar suara langkah-langkah kaki yang sepertinya sedang berjalan di atas semak dan rerumputan. Awalnya terdengar jauh, namun semakin lama semakin mendekat, dan akhirnya seperti berhenti tepat di depan rumah

Jam 1 lewat tengah malam, aku sekali lagi memberanikan diri untuk berdiri dan mendekat ke jendela, ingin tahu ada apa sebenarnya di luar, suara langkah kaki siapa yang ada di halaman.

Tirai lusuh yang menggantung menutupi jendela perlahan ku geser sedikit-demi sedikit, membuat celah ruang untuk mengintip. Setelah sudah cukup ada celah, barulah terlihat keadaan di luar, walaupun sudut pandangnya masih sempit. Lampu templok yang aku pasang di luar ~berbahan minyak tanah yang ukurannya cukup besar~, bisa menerangi rumah sampai belasan meter ke depan.

Sepi, di bagian kiri halaman gak ada siapa-siapa, remang cahaya menunjukkan seperti itu. Di kejauhan aku masih bisa melihat pohon-pohon karet yang berdiri berbaris walau hanya berbentuk siluet, kokoh tegak dalam hening dan diam.

Kemudian aku menggeser sudut pandang ke bagian tengah halaman. Ternyata sama saja, hanya kosong sepi di tengah remang cahaya.

Rasa takut yang kurasakan beberapa detik ke belakang sudah sedikit mereda, tiba-tiba kembali mencuat lagi memenuhi isi kepala, ketika pandangan mulai bergeser ke sebelah kanan, persis di depan rumah. Di situ aku melihat pemandangan yang sangat menyeramkan, pemandangan samar tapi masih bisa terpampang.

Memicingkan mata, menguceknya sekali lagi, berusaha memperjelas penglihatan supaya bisa menembus gelap. Beberapa belas detik kemudian, barulah aku bisa menangkap cukup jelas, melihat dengan mata kepala sendiri, yang sejak tadi membuat penasaran.

Seketika detak jantung seperti berhenti, desir aliran darah mengalir pelan, bulu kuduk berdiri. Aku kembali tercekat ketakutan, ketika melihat ada beberapa sosok sedang berdiri di dalam gelap.

Benar, di antara pepohonan karet aku melihat beberapa sosok yang bentuknya seperti manusia. Entahlah, mungkin enam atau delapan orang, aku belum bisa memastikan. Jangankan jumlahnya, untuk bentuk pastinya pun aku masih belum bisa memastikan, karena masih kelihatan berbentuk siluet, bayangan hitam.

Aku yang sangat ketakutan masih terus terpaku melihat mereka, coba mencerna dan lebih jelas lagi menangkap bentuk sosok-sosok itu. Tenganku masih tetap menahan tirai jendela, menjaga supaya bisa terus ada celah untuk melihat luar. Setelah (mungkin) satu menit kemudian, barulah pandangan bisa menangkap semuanya..

Beberapa sosok ini berdiri dua baris ke belakang, entah berapa jumlahnya karena yang di belakang tertutup gelap pekat, aku hanya bisa melihat cukup jelas hanya tiga atau empat baris di depan. Tapi yang pasti, aku bisa sangat jelas melihat sosok-sosok yang berada di depan, karena jaraknya paling dekat dengan aku.

Ternyata, sosok-sosok paling depan terlihat sedang menggotong sesuatu, setelah aku pertegas dan pastikan lagi ternyata mereka sedang membopong keranda mayat..

Mereka berdiri diam menghadap ke rumah, rumah tempat aku sedang terjebak sendirian. Iya, hanya itu yang mereka lakukan, berdiri diam sambil membopong keranda jenazah.

Aku tercekat cekam, gak mampu menelan ludah sendiri, ketakutan.

Sampai akhirnya memutuskan untuk melangkah mundur menjauhi jendela, ketika tiba-tiba melihat mereka mulai bergerak. Beberapa sosok bergerak maju, melangkah terlihat seperti melayang pelan mendekat ke pintu rumah.

Ya Tuhan..

Aku berdiri di sudut ruang tengah, dalam remang cahaya petromak yang mulai kehabisan bahan bakar. Keringat dingin mengucur, tubuh mulai gemetaran, terus memandang ke arah pintu, berharap semoga gak ada yang membukanya dari luar..

Tapi, harapan hanya tinggal harapan, karena aku melihat gagang pintu mulai bergerak-gerak dengan sendirinya, seperti ada yang sedang coba membukanya dari luar.

Diam terpaku, hanya itu yang bisa aku lakukan.

Beberapa belas detik kemudian, hal yang paling aku takutkan sejak tadi akhirnya terjadi, pintu rumah mulai terbuka perlahan, benar ada yang membukanya dari luar..

Reflek, aku lalu bergegas mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja. Aku berniat untuk melarikan diri lewat pintu belakang.

Ketika sedang melangkah menuju pintu belakang, aku melirik ke pintu depan, saat itulah aku melihat pemandangan sangat seram. Pintu depan sudah terbuka lebar, lalu aku melihat sosok-sosok seram yang aku lihat sebelumnya di halaman, satu parsatu mulai masuk ke dalam rumah.

Sudah, aku gak tahan lagi, langsung membuka pintu belakang, lalu berlari ke samping rumah, di situ motorku terparkir.

Dalam gelap, pelan-pelan aku mendorong motor menuju jalan setapak depan rumah, sebisa mungkin gak menghasilkan suara sedikit pun. Dalam proses mendorong motor inilah, sekilas aku melirik ke dalam rumah yang pintunya masih terbuka lebar. Saat itu, terlihat pemandangan seram yang gak akan pernah aku lupa sepanjang hidup.

Di ruang tengah, yang masih diterangi oleh redupnya cahaya petromak, aku melihat ada beberapa sosok seram tinggi besar sedang berdiri mengelilingi keranda mayat yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Aku menahan tangis ketakutan melihat itu semua.

Selanjutnya, aku terus mendorong motor menjauhi rumah.

Setelah sudah cukup jauh, aku lantas menghidupkan mesin motor, menyala. Kemudian tancap gas, aku melarikan diri, membelah perkebunan karet di tengah malam buta.

Nafas masih tersengal, badan masih gemetaran ketakutan. 

Lampu motor jadi penerangan satu-satunya bagiku untuk melihat jalan setapak. Motor gak bisa kupacu dengan kecepatan maksimal, karena sama sekali belum hapal jalan yang harus ditempuh, tapo pokoknya harus terus menjauh.

Laju motor yang gak terlalu kencang inilah, yang membuatku masih bisa melihat sekeliling dengan cukup jelas, masih bisa mencium aroma yang aku lintasi.

Aroma? Iya, dalam perjalanan melintas perkebunan karet itu, tiba-tiba aku mencium bau kentang rebus lagi, kali ini sangat menyengat.

Tuhan, ada apa lagi ini..

Bau kentang rebus semakin tercium, sampai ketika aku melihat sesuatu di beberapa belas meter di depan.

Di sebelah kanan jalan setapak yang tengah aku lalui, aku melihat sosok yang awalnya samar, tapi lama kelamaan semakin jelas. Sosok itu berdiri tegak, diam, menyeramkan.

Setelah sudah dekat dan semakin dekat lagi, akhirnya aku bisa melihat dengan jelas. Dibawah sorot lampu motor, dengan sangat jelas aku melihat sosok pocong sedang berdiri di pinggir jalan setapak yang sedang aku lintasi.

Pocong itu diam, namun seperti memperhatikan.

Aku ketakutan melihatnya, merinding, sampai akhirnya pocong itu benar-benar sudah berada di samping kanan.

Panik, aku langsung memacu motor lebih cepat lagi.

Karena situasi yang sangat gelap, ditambah kondisi jalan yang aku belum kenal sama sekali, akhirnya terjadi sesuatu yang sejak tadi aku takutkan. Entah apa penyebabnya, tiba-tiba aku terjatuh dari motor, hentakan yang cukup keras membuat aku gak sadarkan diri setelahnya.

Tapi, sebelum benar-benar gak sadar, sekilas aku melihat kalau pocong yang aku lihat tadi seperti bergerak mendekat ke tempat aku tergeletak.

Setelah itu aku gak ingat apa-apa lagi. Gelap.

***

“Do, bangun Do.”

Aku mendengar suara Sandi.

Hari sudah gak gelap lagi, di sekelilingku sudah ada berdiri beberapa orang yang wajahnya gak aku kenal, kecuali Sandi dan Pak Rahman.

Singkat cerita, ternyata aku ditemukan pagi-pagi oleh Sandi, Pak Rahman, dan beberapa orang dari desa terdekat, setelah mereka mendapati rumah perkebunan karet tempat kami tinggal dalam keadaan kosong.

Setelah itu pula, akhirnya aku jadi tahu alasannya kenapa Sandi gak datang malam itu. Ternyata dia juga tersesat di perkebunan karet, mengalami juga peristiwa paling seram yang pernah dialami dalam hidup.

***

Hai, Balik lagi ke gw ya, Brii.:)

Minggu depan, kita akan dengarkan cerita Sandi, tentang kejadian dia tersesat di dalam perkebunan karet.

Sekian cerita kali ini, sampai jumpa minggu depan.

Tetap sehat, jalankan terus protokol kesehatan, jangan lengah.

Salam,

~Brii~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *