Dena, mahasiswi Jakarta, bertarung melawan rasa takutnya sendiri, merasakan keseraman di tempat baru, di Rumah Cipaganti. Di tempat baru, yang belum kita kenal sama sekali, kadang memberikan sajian seram di dalamnya. Kita yang gak tahu menahu, jadi tercengang ketakutan setelahnya, ternyata ada sesuatu yang ingin menyampaikan pesan, mungkin.
Simak ceritanya di sini, hanya di Briistory..
***
“Gludug, gludug, gludug..”
Terdengarnya seperti ada benda menggelinding.
Yang awalnya jauh, jadi agak dekat, dekat pintu kamar. Masih kaget karena baru saja terjaga, nyawa belum ngumpul, aku masih diam tapi terus memperhatikan, keadaan rumah yang sepi menjadikan suara itu kedengaran jelas walau gak terlalu keras.
“Gludug, gludug, gludug..”
Nah loh!, kali ini sangat dekat, benda yang jadi sumber suara sepertinya baru saja melintas persis di depan pintu kamar!
Bernafas pun aku gak berani, sebegitu takutnya untuk mengeluarkan bunyi..
Tapi, berikutnya gak terdengar apa-apa lagi, sepi, suara itu sejenak menghilang..
Dinginnya kota Bandung membuat aku menggigil, makin menjadi-jadi karena ditambah dengan suasana seram yang sedang berlangsung.
Perlahan menarik selimut lagi sampai sebatas leher, pantas saja aku kedinginan karena sebelumnya selimut gak menutupi tubuh seluruhnya.
Namun, ketika sedang “menikmati” sepi, tiba-tiba..
Duk..
Duk..
Duk..
Tiga kali terdengar bunyi seperti itu lagi!
Yang aku tangkap, dari bunyi dan jaraknya, kedengarannya seperti ada benda yang sedang membentur-bentur pintu kamar. Jarak antara “duk” yang satu dengan “duk” berikutnya ada jeda, gak berdekatan.
Sekali lagi cekam itu datang, “Itu suara apa sih? Kok makin aneh,” aku terus bergumam dalam hati.
Atau aku nyalakan lampu saja? supaya terang benderang. Ah, mengambil beberapa langkah untuk berjalan ke saklar pun gak berani, gak mau membuat suara, aku takut.
Duk..
kedengaran lagi, kali ini hanya sekali.
Setelah itu hilang, sepi lagi.
Ngantukku sudah gak terasa, sedikit pun nggak. Tapi, gak ada yang bisa aku lakukan selain melamun sambil bertanya-tanya dengan cemas apa yang akan terjadi kemudian.
Oh iya, ponsel!, aku bisa menyibukkan diri, mungkin bisa melupakan keseraman ini dengan membuka ponsel, tapi apa daya, ponsel tergeletak di atas meja yang letaknya agak jauh dari tempat tidur.
Tapi, ketegangan sedikit berkurang ketika sudah beberapa belas menit lamanya gak ada suara-suara lagi, sep aja, mungkin gak akan kenapa-kenapa kalo aku turun tempat tidur untuk mengambil ponsel. Ya sudah, akhirnya memberanikan diri untuk bangun dan melangkah ke meja.
Rumah besar ini terlalu besar untuk kami yang hanya bertiga saja, jadi makin dingin dalam senyap. Beberapa lampu di dalam sengaja dimatikan, pencahayaan jadi remang mendekati gelap.
Nah, akhirnya ponsel sudah dalam genggaman, masih berdiri di dekat meja tapi aku sudah mulai melihat layarnya. Cahaya dari ponsel jadi terasa terang karena kamar dalam keadaan nyaris gelap..
Aku lalu melangkah pelan balik lagi ke tempat tidur, sambil mata masih terus memandang ke ponsel. Gak langsung merebahkan diri, aku malah duduk di pinggir ranjang.
Beberapa menit kemudian aku mulai tenggelam larut dalam keasikan berselancar melihat-lihat linimasa media sosial, beberapa kali tertawa kecil karena ada gambar atau video lucu, jadi teralihkan dengan peristiwa aneh yang baru saja terjadi.
Sampai akhirnya, aku dikagetkan dengan suara benda menggelinding lagi!
“Gludug, gludug, gludug..”
Terbelalak, sontak aku langsung mematikan ponsel..
Masih duduk di pinggir tempat tidur, aku menatap tajam ke pintu.
Dari suaranya, benda itu menggelinding dari depan rumah ke belakang, lewat depan kamar.
Lama aku diam memperhatikan, menajamkan pendengaran, bunyi itu terus terdengar..
“Gludug, gludug, gludug..”
Kembali muncul, kali ini datang dari belakang menuju bagian depan rumah.
Lalu berhenti, hilang..
Tapi beberapa belas detik kemudian kedengaran lagi, “Gludug, gludug, gludug..”. Gak seperti sebelum-sebelumnya yang berlanjut sampai ke depan atau belakang, kali ini suaranya berhenti. Kalau itu adalah benda yang menggelinding, dari suaranya terdengar kalau benda ini berhenti tepat di depan pintu kamar!
“Itu apa sih..?” dalam hati aku bertanya-tanya.
Takut dan cemas menyeruak isi kepala, tapi entah kenapa rasa penasaran juga ada, ingin tahu apa sih sebenarnya yang menggelinding itu?
Tiba-tiba aku sudah berdiri, berniat untuk ke pintu, tapi suara itu belum kedengaran lagi.
Mulai melangkah, one step at the time, very slow..
Sampai akhirnya aku sudah berada persis di depan pintu.
Duk..
Duk..
Dua kali, bunyi itu muncul, seperti ada yang membentur pintu bagian bawah. Mendengar itu, aku tetap diam.
Kembali hening..
Keberanian seketika muncul, perlahan tangan meraih gagang pintu, lalu memutarnya.
Aku kemudian menarik pintu, membukanya, sangat perlahan.
Depan kamar remang gelap, namun pandangan masih bisa melihat cukup jelas ketika sudah ada celah untuk mengintip walau sedikit. Setelah itu, aku menarik pintu sekali lagi, masih sangat perlahan.
Nah, ketika pintu sudah terbuka lebar aku tetap gak melihat ada apa-apa, kosong. Tapi teringat kalau bunyi duk duk tadi berasal dari benturan pada bawah pintu, bukan di tengah atau di atas, makanya reflek menunduk menunduk mengarahkan pandangan ke bawah..
Ya tuhan..
Akhirnya aku melihat apa yang jadi sumber suara sejak tadi..
Sesuatu yang sangat menyeramkan sedang berada di lantai depan pintu..
***
~Beberapa hari sebelumnya~
“Dena, kamu ke Bandung ya, temenin tante Lintang lagi, Om Weldan kerja ke luar kota lagi katanya,”
“Oh, iya ma, lagi libur juga kan aku. Lumayaaan bisa refreshing, kan, hehe,”
Itu adalah percakapan dengan mama di ruang makan, di rumah kami di Jakarta. Mama memintaku untuk menemani adiknya yang tinggal di Bandung, Tante Lintang. Tante Lintang dan suaminya, Om Weldan, sebenarnya baru beberapa bulan tinggal di kota kembang, mereka harus pindah dari Jakarta karena pekerjaan Om Weldan yang mengharuskan untuk stay di Bandung.
“Tapi, walaupun udah di Bandung, Om Weldan kok tetep aja sering kerja di luar kota ya Ma, gimana sih, kan kasian Tante Lintang,” tanyaku.
“Iya, tapi emang kerjaan Om Weldan mengharuskan begitu ya mau gimana lagi kan,” jawab mama sambil tangannya sibuk mengolah masakan.
“Harusnya nih, Tante Lintang ke sini aja ya, tinggal sama kita kalo pas Om Weldan ke luar kota,”
“Ah kamu ini, kan Diara harus sekolah, masa iya pulang pergi Jakarta Bandung setiap hari, kan gak mungkin, lagi pula bukannya kamu seneng kalo harus nemenin tante Lintang, kamu bisa healing sebentar ke Bandung kan, hehehe,”
Gaya banget mama aku, make segala nyebut “healing”, hehehe.
Tapi emang iya sih, yang tadinya aku sangat jarang untuk sekadar jalan-jalan ke Bandung tapi karena ada Tante Lintang di sana beberapa bulan belakangan aku jadi beberapa kali juga ke Bandung. Waktunya juga agak tepat, jadwal kuliah aku sedang agak kosong, menjelang sidang akhir ini aku hanya mengambil beberapa kuliah remedial untuk memperbaiki nilai, aku jadi punya cukup banyak waktu luang, makanya gak ada masalah kalau aku harus ke Bandung menemani Tante Lintang.
Mama dan Tante Lintang hanya dua bersaudara, ya mereka itu saja, gak ada yang lain, makanya ikatan kedua saudara kandung ini bisa dibilang sangat kuat, aku dan Naka adikku pun sangat dekat dengan tante Lintang, sudah seperti mama kedua buat kami.
Tante Lintang dan Om Weldan baru memiliki satu anak perempuan, Diara namanya, anak yang cantik dan lucu, umurnya baru menjelang lima tahun, lagi senang-senangnya sekolah PAUD di Bandung. Tante Lintang tadinya pekerja karyawan swasta, tapi setelah menikah dan melahirkan memutuskan untuk total menjadi Ibu Rumah Tangga. Om weldan bekerja di perusahaan IT terkemuka, nah beberapa bulan yang lalu perusahaannya menugaskan dia untuk menangani langsung satu klien besar di Bandung, dia yang harus turun tangan, tapi tetap saja dia harus sesekali ke luar kota untuk menangani klien lainnya juga, kira-kira seperti itu yang aku dengar, makanya beberapa kali juga dia harus bekerja ke luar kota beberapa hari meninggalkan Tante Lintang dan Diara. Di Bandung, perusahaan Om Weldan memberikan fasilitas rumah dinas untuk tempat tinggal bersama keluarga.
Awalnya, aku gak mendengar Tante Lintang meminta tolong ditemani di Bandung kalau Om Weldan ke luar kota, beberapa bulan pertama seperti itu, tapi entah kenapa sebulan belakangan beda. Dengan yang kali ini, berarti aku sudah tiga kalinya ke Bandung menemani Tante Lintang, sebelumnya sudah dua kali, berjarak dua minggu masing-masing.
Aku hitung-hitung, kira-kira pada bulan ketigalah Tante Lintang baru minta ditemani, sebelumnya gak pernah.
“Emang, kali ini Om Weldan sampe berapa lama ke luar kota, Ma?” tanyaku, kami masih di meja makan.
“Katanya sih sampe jumat ini, malam sabtu udah di Bandung lagi,” jawab Mama sambil masih sibuk memasak.
“Wah, agak lama ya, ini aja masih hari minggu,”
“Iya, kamu berangkat besok pagi ya, Om Weldan berangkatnya besok juga soalnya,”
“Ok ok,”
Itulah awalnya, kenapa aku selama hampir seminggu ke depan ini tinggal di Bandung, di rumah Tante Lintang dan Om Weldan, di Rumah Cipaganti.
***
Baca juga:
Iya, rumah yang ditempati Tante Lintang dan Om Weldan ini terletak di daerah Cipaganti, bukan di pinggir jalan Cipagantinya langsung, di belakangnya, namun masih sangat dekat dengan Jalan Cipaganti, hanya berjalan kaki sedikit saja untuk sampai ke Jalan Cipaganti.
Aku yang lahir dan besar di Jakarta saja cukup familiar dengan Jalan Cipaganti ini, jalan yang cukup terkenal dan punya sejarah panjang di belakangnya.
Sebelum Tante Lintang tinggal di Bandung, walaupun gak terlalu sering aku tapi aku terbilang cukup banyak menghabiskan waktu libur ke Bandung, entah bersama keluarga ataupun teman-teman, makanya untuk beberapa tempat di sana aku agak familiar, termasuk jalan Cipaganti ini, yang dulu kalau mau menuju daerah Lembang harus lewat jalan ini.
Kata Papa, penampakan Jalan Cipaganti belum banyak berubah kalau dibandingkan dengan jaman dulu waktu dia masih Kuliah, pepohonan besar yang berdiri di pinggir jalan dan sekitarnya sudah berdiri puluhan tahun yang lalu, begitu juga rumah-rumah yang ada, katanya sih sudah ada sejak jaman Belanda.
Jalan Cipaganti, jalan yang punya sejarah panjang.
***
Senin pagi menjelang siang, sekitar jam 10an aku sudah duduk di belakang kemudi, bersiap berangkat ke Bandung.
“Tiati, Nak. Kasih tau kalo udah sampai ya,”
Papa dan Mama berdiri di pintu melepas keberangkatan aku.
Sebenarnya, Tante Lintang berharap aku sudah sampai di rumahnya pagi, sebelum Om Weldan berangkat, tapi karena malasnya aku untuk berjibaku dengan macetnya Jakarta di senin pagi makanya aku meminta maaf ke Tante Lintang untuk berangkat agak siangan saja.
…
Singkat cerita, perjalanan berkendara santai berakhir di halaman rumah Tante Lintang menjelang jam dua siang. Aku parkir di sisi kanan halaman.
Dari dalam mobil aku memperhatikan teras rumah, krlihstsn kosong gak ada siapa-siapa, pintu rumah tertutup rapat, biasanya Tante Lintang akan langsung keluar menyambut ketika mobil yang aku kendarai sudah masuk halaman, tapi kali ini nggak begitu.
“Oh mungkin Tante Lintang lagi tidur,” pikirku dalam hati.
Tanpa pikir panjang aku lalu turun dari mobil beserta beberapa tas yang aku bawa.
Rumah dengan arsitektur dasar merupakan desain rumah Belanda, namun sudah dipadu dengan beberapa desain modern kekinian, namun tetap saja kental dengan gaya “Belanda”-nya. Bukan rumah tingkat namun cukup besar, memanjang. Rumah dengan empat kamar di dalamnya, lengkap dengan ruang tamu dan ruang keluarga.
Sesampainya di teras, aku langsung mengetuk pintu, tapi gak ada jawaban, tante Lintang atau Diara gak terlihat muncul dari dalam.
Sekali lagi aku mengetuk, tetap gak ada jawaban.
“Ke mana sih Tante Lintang, tidur apa ya?”
Di sisi kiri pintu ada jendela besar yang sebagiannya terbuat dari kaca, lewat jendela ini aku lalu mengintip ke dalam. Memang gak bisa melihat jelas ke dalam karena terhalang tirai, tapi seenggaknya aku bisa mengintip sedikit dari celah kecil. Dan benar, aku bisa melihat ke dalam.
Kelihatannya rumah dalam keadaan kosong, aku melihat pintu ruang tamu yang menghubungkan dengan ruang tengah dalam keadaan terbuka, aku jadi bisa melihat sampai ke ruang tengah, samar tapi bisa.
Nah ketika sedang asik memperhatikan, tiba-tiba aku terkejut karena melihat ada pergerakan, di ruang tengah, sepersekian detik aku melihat ada pergerakan seseorang di ruang tengah, bergerak berjalan melangkah dari sisi kanan ke kiri, hanya sekejap, tapi aku yakin kalau itu memang ada orang.
“Tante..”
Reflek aku memanggil tante Lintang, tapi gak ada jawaban.
“Ah, Tante Lintang cuek amat dipanggil,” keluh aku dalam hati.
Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di kursi teras, lalu mengeluarkan ponsel bermaksud untuk menghubungi Tante Lintang.
Baru percobaan pertama, panggilan telepon langsung ada jawaban.
“Halo, Tante, aku udah sampe nih, udah di depan rumah, bukain pintu doong,” aku membuka percakapan.
“Hahaha, Kakak udah sampe ya, tunggu sebentar ya sayang, tante bentar lagi sampe rumah, tadi ada nyari sesuatu dulu di Dago, maaf yaaaa,” jawab Tante Lintang di ujung telpon.
Hah? Tante Lintang lagi gak di rumah?
“Trus, di rumah gak ada siapa-siapa Tan?” tanyaku memastikan.
“Ya gak adalah, siapa lagi,” jawab Tante Lintang yakin.
Hmmm, ternyata rumah ini kosong.
Gak berapa lama kemudian Tante Lindang dan Diara datang.
***
Yang aku sudah ceritakan di awal tadi, kalau sebenarnya ini sudah yang ketiga kali aku menemani Tante Lintang di rumahnya. Bulan-bulan pertama tinggal di Bandung Tante Lintang kelihatan gak ada masalah tinggal di rumah sendirian, tapi entah kenapa satu bulan terakhir dia mulai meminta aku menemani, gak mau sendirian lagi, ketika ditanya pun jawabnya hanya “Cuma gak mau sendirian aja, kalo ada Kakak kan enak, gak terlalu sepi,”. Ya sudah, ketika Tan Lintang memintaku menginap aku gak pernah bertanya lagi kenapa, aku sih senang-senang aja ketika harus ke Bandung, refreshing.
Tapi, setelah kali kedua menginap aku mulai paham, sampai akhirnya nanti aku akan tahu kenapa Tante Lintang gak mau ditinggal sendirian..
Peristiwa aneh ketika aku baru datang tadi, ketika aku melihat seperti ada seseorang yang sedang berada di dalam rumah padahal belakangan dapat dipastikan kalau rumah dalam keadaan kosong, itu bukanlah yang pertama kali aku alami, pada kunjungan sebelumnya juga sudah aku rasakan walau masih tidak terlalu mengganggu dan masih bisa mengacuhkannya.
Oke, aku gambarkan dulu rumah dinas yang ditempati oleh Tante Lintang dan Om Weldan. Rumah arsitektur Belanda yang berkamar empat, ruang tamu, ruang keluarga, memiliki dua toilet, rumah ini terlalu besar untuk ditinggali hanya bertiga saja, ditambah aku pun masih terlalu besar. Sebenarnya rumahnya sangat nyaman, langit-langit yang tinggi serta sirkulasi yang baik membuat udara di dalamnya jadi terasa sejuk. Yaahh, bisa dibilang rumah lamalah. Tapi, rumah dengan desain seperti itu bukan satu-satunya, dalam satu lingkungan di situ masih ada beberapa rumah yang setipe, yang belum dipugar total, masih menyisakan arsitektur aslinya, yaitu arsitektur Belanda.
Jadi, Tante Lintang dan Om Weldan menempati rumah dinas yang bisa dibilang rumah lama alias kuno, hmmm…
Awalnya aku gak terlalu memikirkan itu, yang aku tahu rumahnya enak, adem, sejuk, lingkungannya nyaman, banyak pohon besar, menenangkan, itu aja. Tapi, beberapa keanehan yang aku rasakan akhirnya memaksaku mengaitkan semuanya.
Seperti yang aku bilang tadi, peristiwa tadi sudah ada beberapa kejadian aneh yang aku rasakan. Yang paling awal adalah ketika malam pertama pada kunjungan yang pertama juga ke rumah Tante lintang ini.
Begini ceritanya..
Aku sampai di Bandung, di rumah tante Lintang, pada rabu malam, kenapa malam hari? Karena hari itu aku masih ada kegiatan di Jakarta hingga sore yang memaksa aku untuk sampai di Bandung nyaris tengah malam. Tante Lintang menyambutku di teras sambil duduk memangku Diara yang sudah tidur.
“Tante, ngapain nunggu aku di teras gini, bukannya di dalem aja, kan dingin di luar,” protes aku yang melihat Tante Lintang duduk di teras depan, pada jam sebelas hampir tengah malam.
“Gapapa, Kak. Di dalem gerah, jadi Tante duduk di sini aja, nunggu kamu sekalian,” jawab Tante Lintang, dengan wajah yang terlihat sudah lelah.
Di dalam gerah? Masa iya? Ini kan Bandung, aneh.., aku bertanya-tanya dalam hati.
“Adek gak kamu ajak, Kak?”
“Gak Tan, dia kan besok masih harus kuliah,”
Percakapan terjadi ketika kami sedang melangkah masuk ke dalam rumah.
“Waahh, rumahnya gede ya Tan,” agak terperangah aku melihat rumah ketika sudah berada di dalam.
“Iya, ini memanjang ke belakang loh, masih luas tuh ke belakang, hehe,”
Dan benar apa yang Tante Lintang bilang, setelah aku berkeliling melihat-lihat, ternyata rumah ini memang besar. Terperangah aku saat itu. tapi di dalam benak yang terpikir adalah kenyamanan untuk tinggal di dalamnya, bukan yang lain.
“Kamu tidur di kamar depan aja ya, Kak. Tante di kamar dalem,” tante Lintang bilang begitu.
Kamar dalam yang dimaksud adalah kamar yang letaknya di ruang tengah, sedangkan kamar yang sudah disiapkan buat aku adalah kamar depan, kamar yang berhadapan langsung dengan ruang tamu.
Waktu itu sudah jam 12 lewat sedikit ketika kami memutuskan untuk masuk ke kamar masing-masing, aku sudah lelah setelah berkendara sebelumnya, Tante Lintang juga sudah kelihatan lelah.
Di dalam kamar, aku langsung berbaring di tempat tidur, ingin rasanya langsung terlelap.
Kamar ini sudah rapih, terlihat memang sudah disiapkan oleh Tante Lintang buatku. Kamarnya besar, dengan perabot standard seperti meja lemari kursi dan tempat tidur, ada jendela kayu yang kalau aku buka langsung bisa melihat teras dan halaman depan.
Sambil menunggu terlelap, aku membuka ponsel, melihat-lihat update media social, sama seperti orang-orang kebanyakan kalau aku pun bisa betah berlama-lama sekadar membuka Twitter atau instagram atau lainnya, sampai gak sadar kalau ternyata sudah jam satu lewat sedikit.
Remuk redam rasanya tubuh ini, berbalut selimut tebal aku coba meredam udara dingin yang makin menusuk menembus kulit. Remang gelap kamar serta dinginnya suhu seperti mengundang kantuk hebat untuk datang, gak kuasa aku menahannya, tapi ada sesuatu yang akhirnya memaksa aku untuk bangun dari tidur.
“Ah sial, aku pingin pipis,”
Gak bisa ditahan sampai pagi sepertinya, aku pun melangkah ke pintu berniat menuju salah satu toilet, toilet terdekat letaknya di ruang tengah, di sebelah kamar yang ditempati oleh Tante Lintang.
Keluar kamar aku langsung bisa melihat ruang tamu yang dalam keadaan gelap, penerangan hanya bersumber dari lampu teras depan yang cahayanya masuk dari celah-celah jendela yang tirainya gak menutup sempurna.
Meneruskan langkah, aku menuju ruang tengah, hampir di paling belakang di situlah toilet yang aku tuju.
Ruang tengah juga sama, gelap ketika aku sudah sampai di situ, cahaya hanya bersumber dari lampu kecil dekat lemari besar, dan juga cahaya laptop yang masih menyala di meja kerja samping lemari besar tadi.
Wait, what?
Cahaya layar laptop?
Kok ada laptop yang masih menyala?
Benar, ternyata ada laptop masih menyala, dan aku lihat ada om Weldan sedang duduk menghadap laptop itu.
Iya, Om Weldan, aku gak salah lihat, dia terlihat sangat serius memperhatikan laptopnya.
“Om Weldan kok masih di sini? Bukannya udah berangkat dari kemarin malam ya?” ucapku dalam hati. Aku yang sudah gak tahan lagi akhirnya memutuskan untuk langsung ke toilet, gak menegurnya.
Gak memakan waktu lama, setelah selesai aku keluar dan berniat langsung kembali ke kamar.
Setelah sudah di luar kamar mandi, mataku langsung tertuju ke meja kerja Om Weldan, ternyata laptop sudah mati dan Om Weldan sudah gak terlihat lagi, pun ketika aku sudah melihat ke seluruh penjuru ruang tengah, sudah kosong gak ada siapa-siapa.
“Oh. Om Weldan udah selesai kerja kali,” begitu pikirku dalam hati.
Ya sudah, tanpa pikir panjang aku langsung menuju kamarku di depan.
Sesampainya di kamar, aku langsung tertidur, lelap.
Besok paginya, terjadi percakapan aneh dengan Tante Lintang.
“Tante, tadi malam aku lihat Om Weldan di meja kerjanya, emang dia balik lagi? Kan Tante bilang Om Weldan udah berangkat hari selasa,” tanyaku di meja makan.
“Hah? Om Weldan? Ohh, hmmm, aaahh, iya, iya. Tante lupa kasih tau kalo Om Weldan balik lagi tadi malam katanya ada yang ketinggalan,” jawab Tante lintang, terlihat gelagapan menjawab, entah kenapa, saat itu aku gak tahu.
Tapi siangnya aku dapat pesan whatsapp dari Om Weldan, kira-kira isi pesannya begini:
“Kak, udah Di Bandung kan ya? Jadi kan nemenin Tante kamu?”
“Udah Om, dari tadi malam, hehehe,”
“Oh, syukurlah, map ngerepotin ya,”
“Gapapa Om, sekalian jalan-jalan lah, hehe,”
“Haha, ya sudah kalau gitu, om agak lama ini, mungkin senin atau selasa depan om baru pulang, masih banyak kerjaan. Ini juga Om baru sampai Aceh, perjalanan jauh dari Riau lewat darat dari kemarin siang,” satu kalimat panjang Om Weldan sedikit mengernyitkan dahiku.
Dari kemarin siang?, Om Weldan melakukan perjalanan darat menuju Banda Aceh, berarti tadi malam Om Weldan sedang di Sumatera. Lalu siapa yang aku lihat semalam duduk di depan laptop?
Hmmm, langsung banyak pertanyaan di kepala, kenapa Tante Lintang menutupi dengan bilang kalau Om Weldan memang sedang balik lagi pulang ke rumah? Apa itu bukan Om Weldan? Walaupun dalam remang cahaya dan aku melihatnya dari samping tapi aku yakin kalau itu adalah Om Weldan, bukan orang lain.
Itu keanehan pertama yang aku alami, berikutnya masih ada beberapa kejanggalan lain.
***
Aku lupa, entah pada kunjungan pertama atau yang kedua ke rumah Cipaganti ini, yang pasti waktu itu adalah malam kedua kunjunganku saat itu, aku mengalami mimpi yang aneh, mimpi yang menurutku nyaris seperti nyata visualisasinya.
Siangnya aku sengaja berjalan-jalan di kota Bandung, aku mencari kuliner menarik yang gak aku dapatkan di Jakarta, dan berakhir ngopi di satu café asik di daerah Ciumbuleuit. Lelah? Gak terlalu, karena menyenangkan. Tapi malamnya aku merasa sangat mengantuk padahal belum terlalu larut, sekitar jam 10 aku sudah terlelap.
Image by Jessica Kwok from Pixabay
Nah, ketika ketika tidur saat inilah aku mengalami mimpi yang aneh,
Di dalam mimpi, berawal ketika aku seperti sedang berada di rumah Cipaganti ini, berada di dalam kamar yang biasa aku tempati kalau sedang datang berkunjung, posisiku di tempat tidur seperti baru saja terjaga. Aku masih sangat ingat, ketika sepertinya aku terjaga karena mendengar ada “keramaian” di luar kamar, di ruang tamu.
“Keramaian” yang aku maksud adalah suara dari banyak orang, bukan suara ramai sampai memekakkan telinga, tapi suara banyak orang sedang berbincang satu sama lain.
Sekali lagi, mimpi kali ini terasa sangat nyata, belum pernah aku mengalami mimpi sejelas ini.
Masih di dalam mimpi, mendengar suara orang-orang itu aku tentu saja jadi penasaran, ada apa di luar kamar? Sedang ada acara apa?, lalu aku bangkit dari rebah, gak langsung berjalan menuju pintu tapi sejenak duduk untuk “mengumpulkan nyawa”.
Suara-suara itu masih jelas terdengar, percakapan yang isinya kurang bisa aku tangkap,.
Masih duduk aku lalu menoleh ke jendela, dari sela-selanya aku bisa melihat kalau ternyata hari masih malam karena di luar gelap.
Ada apa ya? Apa Tante Lintang sedang ada acara pesta kecil-kecilan? Kok gak bilang-bilang?
Akhirnya, rasa penasaran memaksa aku untuk mendekat ke pintu, coba cari tahu ada apakah gerangan sebenarnya.
Makin dekat pintu, suara-suara obrolan makin jelas terdengar.
Khawatir kalau aku mengganggu mereka karena tiba-tiba muncul dari dalam kamar, maka dari itu aku sangat perlahan memutar gagang pintu supaya gak menarik perhatian, kemudian aku tarik pintu perlahan untuk membukanya.
Setelah sudah cukup ada celah, aku mendekatkan wajah untuk mengintip ke luar.
Benar di ruang tamu banyak orang, dengan lampu yang menyala terang.
Yang mampu aku lihat, ada sekitar 6 atau 8 orang, ada yang sedang duduk di sofa, ada pula yang berdiri, semuanya berposisi sedang berbincang satu sama lain.
Di ruang tengah itu, aku gak melihat ada Tante Lintang atau Om Weldan, semuanya adalah wajah-wajah yang gak aku kenal.
Saking asiknya memperhatikan, sampai gak sadar kalau sudah membuka pintu terlalu lebar, aku jadi menarik perhatian, salah satunya perempuan di sofa besar yang posisinya memang persis menghadapku. Aku melihat perempuan setengah baya ini tersenyum ke arahku, she smiled at me, aku lalu membalas senyumnya sambil sedikit menganggukkan kepala.
Ya sudah, kepalang tanggung, aku kemudian membuka pintu, akan sekalian mencari Tante Lintang atau Om Weldan. Sambil menyapa satu-satu para tamu sambil tersenyum aku berjalan menuju pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang tengah.
Sesampainya di ruang tengah, ternyata sama, banyak orang juga, dan sama juga kalau aku gak kenal mereka, semuanya asing. Tapi ada yang cukup menarik perhatian, ternyata di antara tamu-tamu ini banyak yang bertampang bule alias orang-orang eropa, mereka terlihat berbeda dari cara berpakaian dan bicaranya.
Lagi-lagi aku gak melihat ada Tante Lintang dan Om Weldan.
Oh iya, sama dengan ruang tamu tadi, di ruang tengah juga lampunya terang.
Karena gak menemukan Tante Lintang dan suaminya, aku memutuskan untuk ke toilet saja, sekalian aku mau buang air kecil mumpung sedang berada di ruang tengah.
Selesai pipis, aku langsung keluar. Pada saat inilah aku sedikit terkejut, berdiri diam di depan pintu kamar mandi lalu memandang sekeliling. Ternyata situasinya sudah beda jauh, yang tadinya terang benderang berubah menjadi temaram, bukan gelap total tetapi remang yang masih bisa melihat semua yang ada di ruangan.
Walaupun lampu menyala seadanya, walaupun temaram, tapi aku masih bisa melihat keberadaan orang-orang yang tadi aku lihat sebelum masuk kamar mandi, orang-orang yang sama dan masih dalam posisi yang sama pula, mereka masih ada.
Aku masih diam sambil terus memperhatikan.
Seperti yang aku bilang tadi, walaupun gak terang benderang seperti sebelumnya tetapi aku masih bisa melihat semuanya, walau ada beberapa yang terlihat hanya dalam bentuk siluet hitam.
Cukup lama aku memperhatikan, sampai akhirnya pandangan terhenti di satu sosok yang sedang berdiri sendirian di sebelah lemari, persis di depan pintu kamar Tante Lintang.
Awalnya melihat sosok itu sambil aku mengucek-ngucek mata, coba memperjelas penglihatan, karena ada keanehan, tapi gak ada yang berubah setelah aku mengucek mata, masih kulihat keanehan yang sama.
Eh bukan, bukan keanehan, tetapi keseraman..
Ada apa dengan sosok yang sedang berdiri sendirian itu?
Ternyata, sosok itu berdiri diam tanpa kepala!
Setelah sadar, aku langsung terkesiap dari lamunan, aku yakin penglihatanku benar, kalau ternyata sosok itu berdiri hanya tubuhnya saja, tanpa kepala.
Aku langsung berlari ke depan, menuju kamar, tanpa melihat sedikit pun ke belakang.
Tapi penasaran, sesampainya di pintu ruang tengah, aku menoleh ke belakang. Ternyata pemandangan sudah berubah, yang tadinya banyak orang dan cukup ramai, tiba-tiba ruangan kelihatan kosong, gak ada orang sama sekali kecuali sosok tanpa kepala tadi, dia tetap berdiri di tempatnya.
Aku terdiam..
Lagi-lagi aku seperti tersadar, ketika melihat sosok seram itu mulai melangkahkan kaki, mulai berjalan menuju ke tempat aku berdiri, sontak aku langsung membalikkan badan, berniat untuk lari masuk ke kamar. Dan, ruang tamu juga sama, yang tadinya banyak orang tiba-tiba semua menghilang, ruang tamu kosong dan dalam keadaan gelap!
Aku panik, langsung masuk kamar, menutup pintu lalu menguncinya.
Masih ketakutan, sangat ketakutan, ketika dari dalam kamar aku melihat gagang pintu bergerak-gerak sendiri, seperti ada yang mencoba untuk membukanya dari luar.
Gemetar tubuhku..
Sampai akhirnya semuanya selesai ketika aku terbangun dari tidur. “Syukurlah, Cuma mimpi,” ucapku.
Memang cuma mimpi, tapi mimpi yang sungguh sangat terlihat nyata, aku sampai bingung, itu sebenarnya mimpi atau bukan.
***
Pada awalnya, aku mencoba untuk mengabaikan beberapa kejadian aneh itu, “Ah mungkin karena rumah ini tempat yang baru buatku, jadi ya begitu, parno,” aku terus memaksa diri untuk tenang dan tidak berpikir macam-macam. Ditambah, aku sangat menyukai Bandung, suasananya, udaranya, makanannya, semuanya, makanya sedikit banyak perhatianku masih bisa teralihkan dengan hal-hal yang menyenangkan, disamping itu kejadian-kejadian aneh itu masih sesekali saja dan belum jadi keanehan menjurus seram menakutkan, aku masih santai.
Tapi ternyata seiring berjalannya waktu dan setelah kunjungan-kunjungan berikutnya kok makin lama aku merasa kejadian-kejadiannya makin aneh dan janggal, menjurus seram malah. Pernah pada suatu malam, aku harus ke luar karena harus membeli pembalut, harus membelinya malam itu juga, terpaksalah aku berjalan kaki menuju satu warung kecil yang jaraknya sekitar 5 menit berjalan kaki dari rumah. waktu itu sudah hampir jam 12 malam, aku sempat berniat untuk mengetuk kamar Tante Lintang untuk bertanya apakah dia masih punya stok pembalut, tetapi tampaknya dia sudah tidur, aku gak mau membangunkannya, lebih memilih untuk keluar saja sebentar, toh warung kecil itu katanya buka 24 jam.
Berjalan kaki aku menyusuri jalan perumahan yang isinya rumah-rumah besar ini, lampu jalan yang seadanya ditambah gak ada orang sama sekali dan gak ada juga kendaraan yang melintas, sepinya membuat nyaliku sedikit goyah. Tapi ya mau gimana lagi, aku harus ke warung itu.
“Neng, tinggal di mana?” tanya Bapak penjaga warung setelah aku sampai dan selesai bertransaksi.
“Di rumah tante saya Pak, sedang liburan aja, hehe,” jawabku.
“Oohh, rumah yang mana?”
“Rumah yang kedua dari ujung loh Pak, jalan yang itu,”
“Oh rumah itu, rumah yang pernah lama kosong ya,”
Aku hanya tersenyum.
“Pulangnya hati-hati ya neng, mana sendirian lagi. Hmmm, kalo ada apa-apa jangan diwaro, cuekin ajah,” kata Bapak itu lagi.
“Emang ada apa Pak?” aku penasaran dong.
“Nggak neng, pokoknya langsung masuk ke rumah aja ya,”
Hmmm. omongan yang membuat aku sedikit berpikir ke sana ke mari.
Tapi ya sudahlah, aku mengiyakan omongannya, lalu buru-buru pamit pulang.
Perjalanan pulang aku melewati jalan yang sama, situasinya juga masih sama, sepi dan pencahayaan seadanya. Aku perhatikan setiap rumah yang aku lalui, semuanya seperti gak ada kehidupan di dalamnya, entah penghuninya memang gak ada atau sudah tidur, tapi beberapa lampunya menyala walau gak terang.
Makin dekat, langkahku makin cepat, aku ingin buru-buru sampai dan masuk ke rumah.
Tinggal beberapa rumah lagi.
Langkah makin cepat.
Rumah Tante Lintang ini memang hampir paling ujung jalan, di depannya ada dua pohon besar, yang satu persis di depan rumah dekat pagar, yang satu lagi di seberang jalan. Nah ketika aku hampir sampai di pagar rumah, aku melihat ada sesuatu di bawah pohon besar yang letaknya di seberang jalan. Pohon ini gak ada penerangan, nyaris gelap total, tapi aku masih melihat ada yang berbeda di bawahnya.
Aku melihat ada seseorang yang sedang berdiri diam, berdiri menghadap jalan, nyaris hanya berbentuk siluet hitam ketika aku melihatnya. Karena inilah aku jadi melambatkan langkah, penasaran, siapakah yang sedang berdiri itu.
Aku sudah di depan pagar dan sedang berusaha membukanya, tetapi pendangan masih terus mengarah ke sosok di seberang itu.
Mengernyitkan dahi, aku memaksa mata untuk bisa fokus dan memperjelas penglihatan.
Beberapa detik kemudian, aku tersentak kaget! Lalu buru-buru mengalihkan pandangan, membuka pagar, menutupnya lagi, kemudian aku lari masuk rumah.
Kenapa? Karena tadi ketika masih berdiri di depan pagar, setelah sudah bisa melihat jelas, ternyata sosok itu berdiri tanpa kepala!
Gemetar tubuhku, makanya aku langsung lari.
Ketika sudah di dalam, aku langsung mengunci pintu. Bodohnya, bukannya langsung masuk kamar, aku malah mengintip keluar, coba melihat lagi sosok itu, penarasan.
Masih ada, sosok seram tanpa kepala itu masih berdiri pada tempatnya, di bawah pohon di dalam gelap. Degup jantung berdetak kencang, beberapa detik kemudian aku langsung masuk kamar.
Sosok tanpa kepala yang sebelumnya muncul di dalam mimpiku, malam itu aku melihat langsung penampakannya.
***
Dan puncaknya, pada satu malam terakhir aku menginap di rumah itu, setelah peristiwa itulah akhirnya aku memaksa tante Lintang untuk bercerita sejujurnya tentang rumah ini, ada apa sebenarnya.
Begini ceritanya..
Waktu itu seharusnya aku sudah kembali ke Jakarta karena ada keperluan, dan katanya Om Weldan sudah akan sampai di rumah lagi sore harinya. Tetapi, last minute ternyata Om Weldan mengabarkan kalau kepulangannya tertunda satu hari, masih ada yang harus dikerjakan katanya.
Ya sudah, aku gak tega melihat Tante Lintang yang memohon agar aku menginap satu malam lagi.
Waktu itu hari kamis, malam Jumat.
Malam pun datang, setelah makan malam aku dan Tante Lintang serta Diara sempat berbincang di ruang tengah di depan tv. Sampai kira-kira jam sepuluh kami menyudahi percakapan lalu masuk ke kamar masing-masing.
Seperti biasa, lampu di dalam rumah hampir semuanya dimatikan, hanya lampu-lampu kecil saja yang menyala.
Entah kenapa, sejak sore tadi aku merasa kalau suasana di rumah ini agak beda dari biasanya, aku sedikit gak nyaman, gak tau kenapa. Posthink-nya, aku pikir mungkin karena harusnya aku sudah pulang ka Jakarta, tapi gak jadi, mungkin karena itu.
Aku sudah merasa gak enak sejak sore tadi.
Tapi ya sudahlah, tinggal satu malam ini lagi sih, toh besok aku sudah balik ke Jakarta, makanya ketika sudah berada di dalam kamar aku memaksa diri untuk langsung tidur.
Masih jam sepuluh, ngantukku belum terlalu berat, masih terjaga, ponsel masih di genggaman, scrolling timeline medsos, cari hiburan dan bahan bacaan, berharap kantuk hebat akan datang dan lekas terlelap.
Gak ada suara sama sekali, aku seperti benar-benar sendirian di rumah ini. Sepinya gila, sesekali aku tertawa kecil karena membaca sesuatu di ponsel tapi suaranya terdengar jelas.
Tiba-tiba gak terasa ternyata sudah hampir jam 12 tengah malam, “Buset, udah mau jam 12 aja, tidur dong Denaaaaa..” aku bicara sendiri. Tapi tetap saja, aku belum merasakan kantuk tingkat tinggi, walau intensitas menguap sudah lebih sering.
Beberapa saat kemudian, kembali tenggelam dalam keasikan bermedsos, aku sesekali tertawa kecil atau malah cekikikan ketika melihat ada hal lucu yang aku baca. Terus seperti ini sampai jam 12 lewat. Sejenak aku bisa sedikit melupakan suasana gak nyaman yang aku rasakan sejak sore tadi.
Tapi semuanya berubah pada beberapa menit kemudian, berubah total..
Keasikan melihat layar ponsel terhenti, aku yang tadinya sedang cekikikan langsung terdiam, ketika mendengar sesuatu.
Ada apa?
Samar, tapi terdengar jelas, aku mendengar ada suara tawa perempuan cekikikan juga di luar kamar..
Degup jantungku langsung berhenti, aku diam. Coba fokus pendengaran, apa yang baru saja aku dengar itu nyata atau nggak.
Diamku beberapa menit, menunggu, tapi gak ada suara lagi.
Tapi tiba-tiba kedengaran lagi, kali ini sangat jelas, karena lebih keras dari sebelumnya, suara cekikikan perempuan dari ruang tamu!
Aku merinding, karena yakin kalau itu bukan suara Tante Lintang apa lagi Diara, aku sangat mengenal suara keduanya, sangat yakin kalau ini bukan suara mereka.
Aku menarik selimut sampai leher, tapi mata terus memperhatikan pintu, ketika sekali lagi tawa perempuan itu kedengaran. Sungguh menyeramkan, mendengar tawa cekikikan di tengah malam seperti ini.
Kemudian gak kedengaran lagi, ketakutanku sedikit berkurang, hanya sepi yang ada.
Semoga gak ada lagi, semoga gak kedengaran lagi, aku berharap seperti itu.
Gak lama kemudian, syukurlah kantuk hebat akhirnya melanda, aku lalu menaruh ponsel di atas meja, setelahnya aku tertidur.
Selesai? Belum, akan ada terror lagi..
***
Seketika aku terbangun dari tidur sesaat, karena mendengar sesuatu.
“Gludug, gludug, gludug..”
Terdengarnya seperti ada benda menggelinding.
Yang awalnya jauh, jadi agak dekat, dekat pintu kamar. Masih kaget karena bangun tidur tiba-tiba, aku masih diam tapi terus memperhatikan, keadaan rumah yang sepi menjadikan suara itu kedengaran jelas walau gak terlalu keras.
“Gludug, gludug, gludug..”
Nah loh!, kali ini sangat dekat, benda yang jadi sumber suara sepertinya baru saja melintas persis di depan pintu kamar!
Bernafas pun aku gak berani, sebegitu takutnya untuk mengeluarkan bunyi..
Tapi, berikutnya gak terdengar apa-apa lagi, sepi, suara itu sejenak menghilang..
Dinginnya kota Bandung membuatku menggigil, makin jadi ditambah dengan suasana seram yang sedang berlangsung. Perlahan menarik selimut lagi sampai sebatas leher, pantas saja aku kedinginan karena sebelumnya selimut gak menutupi tubuh.
Namun, ketika sedang “menikmati” sepi, tiba-tiba..
Duk..
Duk..
Duk..
Tiga kali terdengar bunyi seperti itu, suara apakah?
Yang aku tangkap, dari bunyi dan jaraknya, terdengar seperti ada benda yang sedang membentur-bentur pintu kamar. Jarak antara “Duk” yang satu dengan berikutnya ada jeda, gak berdekatan.
Kembali cekam itu datang, “Itu suara apa sih? Kok makin aneh,” gumamku dalam hati.
Atau aku nyalakan lampu saja? supaya terang benderang. Ah, untuk mengambil beberapa langkah ke saklar pun gak berani, gak mau membuat suara, aku takut.
Duk..
kedengaran lagi, kali ini hanya sekali.
Setelah itu hilang, sepi lagi.
Ngantukku sudah gak terasa, sedikit pun nggak. Tapi, gak ada yang bisa aku lakukan selain melamun sambil bertanya-tanya dengan cemas apa yang akan terjadi kemudian.
Oh iya, ponsel!, aku bisa menyibukkan diri, tapi apa daya, ponsel tergeletak di atas meja yang letaknya agak jauh dari tempat tidur.
Tapi, sudah beberapa belas menit lamanya gak ada suara-suara lagi, mungkin gak akan kenapa-kenapa kalo aku turun tempat tidur untuk mengambil ponsel. Ya sudah, akhirnya memberanikan diri untuk bangun dan melangkah ke meja.
Rumah besar ini terlalu besar untuk kami yang hanya bertiga saja, jadi makin dingin dalam senyap. Beberapa lampu sengaja dimatikan, pencahayaan jadi remang mendekati gelap.
Ponsel sudah dalam genggaman, masih berdiri di dekat meja tapi aku sudah mulai melihat-lihat layarnya. Cahaya dari ponsel jadi terasa terang karena lampu kamar memang redup.
Aku lalu melangkah pelan kembali menuju tempat tidur, sambil mata terus memandang ke ponsel. Gak langsung merebahkan diri, aku malah duduk di pinggir ranjang, dengan pandangan belum lepas juga dari ponsel.
Beberapa menit kemudian aku mulai tenggelam larut dalam keasikan berselancar melihat-lihat linimasa media sosial, beberapa kali tertawa kecil karena gambar atau video lucu, jadi teralihkan dengan peristiwa aneh yang baru saja terjadi.
Sampai akhirnya, aku dikagetkan dengan suara benda menggelinding lagi!
“Gludug, gludug, gludug..”
Sontak aku langsung mematikan ponsel..
Masih duduk di pinggir tempat tidur, tatapan mengarah ke pintu.
Dari suaranya, benda itu menggelinding dari depan rumah ke belakang, lewat depan kamar.
Lama aku terdiam, memperhatikan, menajamkan pendengaran, bunyi itu terus terdengar..
“Gludug, gludug, gludug..”
Kembali terdengar, kali ini datang dari belakang menuju bagian depan rumah.
Berhenti, suaranya hilang..
Tapi beberapa belas detik kemudian kedengaran lagi, “Gludug, gludug, gludug..”. Gak seperti sebelum-sebelumnya yang berlanjut sampai ke depan atau belakang, kali ini suaranya berhenti. Kalau itu adalah benda yang menggelinding, dari suaranya terdengar kalau benda ini berhenti tepat di depan pintu kamar!
“Itu apa sih..?” dalam hati aku bertanya-tanya.
Takut dan cemas menyeruak isi kepala, tapi entah kenapa rasa penasaran juga ada, ingin tahu apa sih sebenarnya yang menggelinding itu?
Tiba-tiba aku sudah berdiri, berniat untuk ke pintu, tapi suara itu belum kedengaran lagi.
Mulai melangkah, one step at the time, slowly..
Sampai akhirnya aku sudah berada persis di depan pintu.
Duk..
Duk..
Dua kali, bunyi itu muncul, seperti ada yang membentur pintu bagian bawah. Mendengar itu, aku tetap diam.
Kembali hening..
Keberanian seketika muncul, perlahan tangan meraih gagang pintu, lalu memutarnya.
Aku kemudian menarik pintu, membukanya, sangat perlahan.
Depan kamar remang gelap, namun pandangan masih bisa melihat cukup jelas ketika sudah ada celah untuk mengintip walau sedikit. Setelah itu, aku menarik pintu sekali lagi, masih sangat perlahan.
Nah, ketika pintu sudah terbuka lebar aku tetap gak melihat ada apa-apa, kosong. Tapi teringat kalau bunyi duk duk tadi berasal dari benturan pada bagian bawah pintu, bukan di tengah atau di atas, makanya aku reflek menunduk lalu melihat memperhatikan ke bawah..
Ya tuhan..
Akhirnya aku melihat apa yang jadi sumber suara sejak tadi..
Sesuatu yang sangat menyeramkan sedang berada di lantai depan pintu..
Di sana ada benda nyaris bulat, dalam gelap aku memperhatikan dan akhirnya kelihatan dengan jelas, aku melihat ada kepala manusia, lengkap dengan wajah dan rambut..
Yang lebih menyeramkan lagi, wajah dari kepala tanpa tubuh ini menatap ke arahku dengan mata terbuka, tanpa senyum, datar tanpa ekspresi..
Tuhan, aku ketakutan hingga tubuh gak bisa bergerak, bertatapan langsung dengan kepala yang sedang berada di lantai..
Nyaris menangis, dalam hati aku membaca doa sebisanya.
Entah dapat kekuatan dari mana, akhirnya aku tersadar dan bisa menarik gagang pintu, kemudian menutupnya.
Aku langsung lari ke tempat tidur, merebahkan diri, menarik selimut lagi, sambil terus menatap pintu.
Suara seram itu hilang, gak kedengaran lagi..
Hening..
Sepi..
Selesai? Masih belum..
Beberapa saat kemudian, aku melihat gagang pintu bergerak-gerak sendiri, seperti ada yang hendak membukanya dari luar.
Gemetar tubuhku melihatnya, menangis kecil aku ketakutan ketika akhirnya aku melihat kalau pintu kamar perlahan mulai terbuka, terbuka sendiri..
Aku lemas, pasrah ketakutan.
Jantung seperti berhenti berdetak, ketika dalam gelap aku melihat ada sosok yang sepertinya adalah sosok yang mencoba membuka pintu.
Iya, ternyata ada sosok lelaki dengan tubuh tanpa kepala sedang berdiri di pintu kamar,
Aku menangis ketakutan..
Lemas..
Sungguh sangat menyeramkan, ya Tuhan.
Aku gak kuat,
Setelah itu aku gak ingat apa-apa lagi..
***
“Kak, bangun, udah siang,”
Suara Tante Lintang membuat aku terjaga.
Aku melihat sudah ada cahaya matahari menembus jendela kamar.
“Ayok sarapan, Tante udah beliin kupat tahu,” senyum Tante Lintang.
Padahal aku masih trauma, masih teringat peristiwa malam tadi.
Pagi itu memang rencananya aku pulang ke Jakarta, karena siang nanti Om Weldan sudah kembali.
Singkat cerita, sebelum pulang aku berbincang dengan Tante Lintang, di teras rumah.
“Tante, jujur deh, kenapa sih belakangan Tante nyuruh aku menginap di sini? Padahal awalnya nggak. Jujur aja Tan, nggak apa-apa,” tanyaku.
“Gak ada, Kak. Tante pingin ada temen aja,” Tante Lintang masih menutupi.
“Udahlah tante, aku beberapa kali ngerasain kejadian seram di rumah ini, tadi malam puncaknya, serem banget,” aku lanjut memaksa Tante Lintang untuk bicara.
Sampai akhirnya, Tante Lintang mau bicara juga, pelan-pelan dia bercerita kalau di rumah ini dia dan Diara sering mengalami peristiwa seram kalau Om Weldan sedang gak ada. Awalnya gak pernah ada apa-apa, tapi lama kelamaan terjadi beberapa kali kejadian seram yang sudah dalam taraf mengganggu, Tante Lintang gak tahan, sampai akhirnya minta tolong aku menemaninya.
Kemudian kami menceritakan semuanya, semua yang pernah aku dan Tante Lintang alami di rumah ini, di Rumah Cipaganti.