Sudah banyak penggalan cerita seram tertuang, tentang Rumah Hantu di Perkebunan Karet alias RHDPK, rumah tempat tinggal Om Heri dan Wahyu. Tapi ternyata masih banyak kejadian seram yang belum diceritakan.
Kali ini, akhirnya gw memaksa diri untuk mulai satu persatu menceritakan semua, dengan segala resikonya. Jadi mari kita mulai, selamat menikmati, berpetualang lagi bareng Wahyu dan Om Heri, hanya di sini, di Briistory..
***
Sekali lagi, derit suara pergeseran meja atau kursi terdengar, memecah hening yang sejak tadi menguasai seisi rumah.
“Pak Hery dengar juga?” Pelan, nyaris berbisik Wahyu bertanya.
“Dengar, Yu.” Aku menjawab pelan juga.
Kami berdua duduk di sudut kamar, di lantai dingin, bawah jendela. Remang cahaya lampu templok yang apinya mulai mengecil jadi satu-satunya sumber penerangan, lampu minyak tanah ini bukannya memberi ketenangan malah membuat was-was karena kami harus terus berharap supaya apinya tetap menyala, walau seadanya.
“Gggrrrrrrrrrrttt..”
Muncul lagi, dan makin jelas kalau itu memang benar adalah suara pergeseran meja di ruang tengah.
Kali ini aku dan Wahyu sama sekali gak bersuara, hanya saling memandang dalam ketakutan, kenapa begitu? Karena sama-sama yakin kalau dari suaranya, meja itu bergerak mendekat ke pintu kamar.
Keringat mulai mengucur, padahal udara cukup dingin.
Sementara di luar, suara hembusan angin yang gak terlalu besar menerpa pepohonan karet, dedaunannya mengeluarkan suara bergerak bertaut satu dengan lainnya. Dari kejauhan, sayup mulai terdengar lolongan panjang anjing hutan, berkolaborasi dengan suara yang sudah ada, membentuk simfoni keseraman.
Suara hening..
Lantunan sepi..
Sekali lagi, kami merasa kalau seluruh elemen di perkebunan mengubah warna keindahan jadi seperti spektrum yang hitam dan putih. Semua seperti melihat dan memperhatikan, coba bercerita, hendak menunjukkan sesuatu dengan cara yang gak biasa.
Udara dingin yang tadinya hanya bergerak di luar, ternyata mulai masuk melalui lubang angin yang ada di jendela. Walaupun begitu, tetap saja aku berkeringat, rasa cemas dan takut bercampur aduk gak karuan.
Aku tarik dan melipat kedua kaki, merapatkan ke dada lalu memeluknya erat. Wahyu juga begitu, sama. Pandangan mengarah ke pintu, dan kami terus berharap semoga semua “Pergerakan” hanya terjadi di baliknya, di ruang tengah.
“Grrrrrttttt…”
Suara pergeseran meja terdengar lagi, namun kali ini beda dengan sebelumnya. Kalau didengar lebih seksama, aku merasa kalau suaranya bukan hanya satu, tapi ada dua atau tiga, jadi bukan hanya meja yang bergeser, tapi kursi atau perabot lainnya juga kedengaran bergerak.
Nyaris bersamaan, aku dan Wahyu sontak mengalihkan pandangan ke dinding kamar sebelah kanan, di situ menempel lampu templok kecil, yang minyak tanahnya sudah kritis, cahaya apinya makin redup, hidup menjelang mati. Terus kami perhatikan lampu itu, apinya makin lemah, mengecil, lalu berkedap-kedip.
Sampai akhirnya, yang kami khawatirkan sejak tadi terjadi juga, lampu templok mati, padam.
Awalnya gelap total, keadaan di mana gak ada bedanya antara membuka dan menutup mata, sama-sama gelap. Tapi, lama kelamaan mulai terbiasa, kami berangsur bisa melihat dalam gelap, juga dibantu oleh cahaya langit yang masuk melalui jendela. Saat inilah cekam makin bertambah, kengerian mengungkung layaknya tempurung.
Senyap, gak ada suara sama sekali,
“Pak, kita pergi aja dari sini? lewat jendela ini aja,” Berbisik, Wahyu melontarkan ide.
“Boleh, Yu. Tapi kita mau ke mana? kamu pegang kunci motor?” Aku menjawab dengan pertanyaan.
“Gak, Pak. Tadi saya taruh di meja ruang tengah,”
“Hmmm, kita ambil aja? berani gak?”
“Aduh.., berdua ya Pak?”
“Iya, berdua, langsung keluarin motor buru-buru,”
Percakapan singkat dengan suara yang sangat pelan itu terjadi di dalam gelap. Setelah itu, cukup lama kami diam, bimbang, antara mau bergerak seperti yag tadi direncanakan atau tetap di tempat sambil terus pasrah menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
1 menit..
2 menit..
Tetap hening..
Gak ada suara sama sekali..
3 menit..
4 menit..
Waktu terus berputar bergerak, kami masih diam di tempat..
Detik berikutnya, ada suara. Lolongan panjang Anjing hutan, melengking. Gak seperti sebelumnya, kali ini lebih keras terdengar, jaraknya cukup dekat, suasana makin mengerikan.
Degup jantung berdetak cepat..
Tapi, beberapa belas detik kemudian, nafas kami tertahan..
Ada apa?
Setelah beberapa kali muncul lolongan panjang anjing hutan, berikutnya terdengar suara sangat jelas, suara yang sudah sangat kami hapal karena sudah sering mendengarnya. Dan yang membuat was-was, kemunculan suara ini selalu diikuti oleh kemunculan seram sang empunya suara..
“Creek, crekkk, creeekk..”
Jelas terdengar di luar kamar, di ruang tengah..
Iya, suara yang sangat familiar..
tapi setelah itu hening, sepi lagi.
Seperti aku, Wahyu juga pasti merasakan kengerian yang sama ketika mendengar suara itu.
Cukup lama hening, namun akhirnya muncul lagi..
“Creek, crekkk, creeekk..”
Kali ini, terdengar lebih dekat dari sebelumnya. Sangat jelas kalau bunyi itu berasal dari balik pintu. Iya, si empunya suara sepertinya sedang berdiri di balik pintu..!
“Creek, crekkk, creeekk..”
Kedengaran lagi, namun yang ketiga ini ada suara lain lagi yang mengikuti,
“Dug, dug, dug..”
Bunyi yang penggambarannya seperti ada yang membentur-benturkan tubuh ke pintu..
Ngeri? Iya..
Aku berharap supaya pintu gak akan terbuka, berharap juga kalau dalam keadaan terkunci..
“Dug, dug, dug..”, muncul lagi, pelan tapi ngeri.
Ulang, seperti ada yang sedang membenturkan tubuh ke pintu.
Aku dan Wahyu seperti mati, tubuh kami gak bisa bergerak terbius ketakutan.
Dalam diam, aku yakin kalau Wahyu juga berpikiran sama, sepertinya rencana awal gak akan bisa terlaksana, ada sesuatu yang mengerikan di ruang tengah, di balik pintu.
Namun, setelah itu semuanya kembali sepi..
Selama beberapa puluh detik lamanya gak ada suara lagi, sama sekali.
Sampai akhirnya ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang kami takutkan sejak tadi..
Apa itu?
Dalam remang gelap, kami melihat kalau gagang pintu kamar perlahan mulai bergerak sendiri, seperti ada yang sedang coba membukanya dari luar..
ini yang kami takutkan, kengerian di luar berpindah masuk ke dalam kamar.
Setelah gagang pintu, berikutnya pintu mulai bergerak, perlahan bergeser terbuka.
Derit suara engsel pintu terdengar pelan namun jelas, memecah hening. Ya benar, pintu akhirnya mulai terbuka, perlahan..
***
Sebentar, udah baca ini belum:
~Siang sebelumnya, menjelang sore sekitar jam dua~
Terpa mentari sepertinya sudah melewati puncak sengatannya, yang tadinya panas sangat mulai berangsur menghangat.
Aku, bersama dengan belasan pekerja, masih menggarap salah satu sisi perkebunan yang termasuk wilayah proyek peremajaan. Peremajaan yang di maksud di sini adalah pengerjaan pembersihan dan perawatan, agar wilayah ini dapat memproduksi karet lagi seperti wilayah lain. Karena luas perkebunan secara keseluruhan mencapai ribuan hektar, jadinya tentu saja kami masih belum bisa memegang seluruhnya, masih banyak yang belum tergarap, wilayah yang mungkin sudah terbengkalai bertahun-tahun lamanya. Rencananya secara bertahap, mengikuti skema perencanaan yang sudah dibuat, goals kami kedepannya bisa memberdayakan seluruh wilayah yang ada. Namun untuk saat ini, masih hanya ada aku dan Wahyu, kami belum sanggup mengerjakan semuanya tanpa bantuan.
Image by Abhilash Jacob from Pixabay
Ya begitulah, aku, kami sedang berada di salah satu bagian perkebunan yang jaraknya cukup jauh dari rumah, sekitar 20 menit perjalanan menggunakan sepeda motor. Sejauh mata memandang, deretan pepohonan karet tetap menguasai pemandangan, namun seperti yang aku bilang tadi, wilayah ini masih belum tergarap dengan benar, semak belukar berbagai macam bentuk dan ukuran memenuhi permukaan tanah.
“Pak, kita lanjut di sini atau angkut sampah dulu?”
Salah satu pekerja, Husni namanya, tiba-tiba sudah berdiri di samping ketika aku sedang duduk di bawah salah satu pohon.
“Oh, lanjut sini aja dulu ya. Sampah-sampahnya bisa kita angkut besok aja, sekalian,” jawabku.
Kemudian Husni mengangguk mengiyakan lalu berjalan menghampiri pekerja lainnya, menyampaikan pesanku. Setelah itu mereka lanjut bekerja.
Sambil duduk beristirahat, aku sempatkan untuk melihat sekeliling, memandang menyusuri setiap sudut perkebunan. Nyatanya, baru sekarang aku menginjakkan kaki di sini, sama sekali belum terjamah wilayah ini.
Keringat masih membasahi tubuh dan pakaian, padahal hari sudah menuju sore, gak sepanas sebelumnya. Tapi untunglah desir angin mulai bertiup, terasa sejuk mendinginkan. Ya begitulah, mengesampingkan semuanya, perkebunan karet yang letaknya di pedalaman Sumatera ini memiliki sisi keindahan yang jarang ditemui di tempat lain. Aku yang sekarang sedang di waktu senggang, sangat menikmati suasananya. Dari awal sejuknya pagi dengan udara segar, wilayah ini dipenuhi hamparan kabut tipis dan bening embun, dihiasi dengan segarnya pepohonan, teriak lucu suara burung bersahutan. Begitu matahari mulai beranjak naik, sinar hangatnya masuk menembus celah di antara pepohonan, menerpa permukaan bumi, kemudian sejuk dan dingin berangsur jadi hangat, namun tetap saja indah.
Gambarannya seperti itu, saat matahari terbit dan menerangi hari. Tapi, akan sangat berbeda suasananya setelah matahari terbenam hilang di ufuk barat.
Nah, lamunan terhenti ketika dari kejauhan aku melihat motor berjalan menyusuri jalan setapak di antara barisan pohon karet. Walaupun masih jauh, tapi aku sudah bisa mengenalinya, itu Wahyu.
Sejak pagi tadi, aku meminta tolong dia pergi ke kota untuk membeli beberapa kebutuhan perkebunan dan rumah, dan baru menjelang jam tiga sore ini dia datang.
“Maaf lama, Pak. Tadi ke bengkel dulu, motor ngadat, hehehe. Trus tadi ke rumah dulu naro barang-barang,” Wahyu bilang begitu ketika sudah sampai di hadapanku.
“Oh iya, Pak. Tadi di jalan saya ketemu dengan Pak Lurah, katanya nanti sore dia mau mampir ke rumah,” Lanjut Wahyu.
“Wah, ada apa ya, Yu?”
“Gak tau, Pak. Dia gak ngomong apa-apa,”
Pak Lurah mau ke rumah? tumben, aku bertanya-tanya. Entah sudah berapa lama beliau gak datang berkunjung, terakhir kali kira-kira satu tahun yang lalu.
Ya sudah, karena penasaran, dengan sedikit terpaksa akhirnya aku meminta para pekerja untuk secepatnya menyelesaikan pekerjaan, dan mereka sih senang-senang saja karena bisa cepat pulang, hehehe.
Singkatnya, jam 4 sore kami selesai, langsung membubarkan diri pulang ke rumah masing-masing. Aku dan Wahyu berboncengan pulang.
~Iya, pulang ke rumah tempat tinggal kami, rumah yang disediakan perusahaan sebagai salah satu fasilitas penunjang pekerjaan. Rumah yang letaknya berada di pinggir perkebunan, berbatasan langsung dengan hutan yang ada di sekeliling perkebunan. Rumah yang sudah kami tempati selama dua tahun ke belakang. Rumah yang sudah banyak memberi pengalaman yang mungkin gak akan pernah kami lupakan sepanjang hidup. Rumah di Perkebunan karet.~
Sekitar jam setengah lima, kami sampai.
Hari menjelang gelap, sore sudah menyajikan indahnya alam menuju senja, mahligai jingga terlihat di ufuk barat menandakan sebentar lagi mentari tertidur lelap.
Tadi sebelum sampai, dari kejauhan kami sudah melihat sudah ada Pak Lurah sedang duduk di teras rumah, menunggu kami.
“Waaah, Tumben, Pak. Ada apa nih, hehehe,” sapa aku ke Pak Lurah, ketika kami sudah benar-benar sampai.
Dengan wajah sumringah, Pak Lurah lalu berdiri menyambut.
Setelah itu, kami bertiga terlibat percakapan akrab yang menyenangkan. Sampai akhirnya, menjelang maghrib kami mulai membahas tentang perkebunan, perkebunan karet tempat kami bekerja ini. Obrolan yang tadinya santai dan diselingi gelak tawa sesekali, sejenak berubah jadi agak tegang karena topik yang Pak Lurah angkat agak menyinggung keseraman di tempat ini.
“Knapa memaksakan diri untuk datang hari ini, karena sepertinya saya harus kasih tau ke kalian tentang suatu hal,”
“Apa itu Pak Lurah?” tanyaku penasaran.
Kemudian beliau mengubah posisi duduknya, lebih mendekat ke aku dan Wahyu, wajahnya berubah lebih serius.
“Jadi, menurut sejarahnya, entah kalian sudah tau atau belum, puluhan tahun yang lalu pernah ada tragedi di desa yang dulunya berdiri di atas perkebunan ini, tragedi berdarah, mengerikan,”
“Tragedi apa, Pak?” Wahyu penasaran.
“Nanti saja mengenai detailnya, yang penting kalian harus nurut saya,” sambung Pak Lurah,
“Nurut gimana, Pak?” aku ikut bertanya.
“Pokoknya, sebisa mungkin malam ini jangan bermalam di sini, di perkebunan ini, jangan. Kalian harus pergi dari sini,” nyaris berbisik Pak Lurah bilang begitu.
“Emang kenapa, Pak?”
“Karena hari ini adalah tanggal di mana terjadinya tragedi mengerikan itu, kampung-kampung terdekat juga sadar akan hal ini. Makanya setiap tahun pada tanggal segini, mereka gak ada yang berani melintas perkebunan, apa lagi malam, karena sering terjadi pemandangan dan kejadian seram. Saya juga pernah, pokoknya seram,”
Panjang lebar pak Lurah menjelaskan semuanya, sementara aku dan Wahyu hanya diam mendengarkan. Sungguh cerita yang sangat membuat kami langsung was-was.
Ya sudah, singkat cerita akhirnya Pak Lurah pamit pulang ketika sudah menjelang maghrib. Sebelum pergi, lagi-lagi dia mengingatkan untuk pergi malam ini, jangan bermalam di sini, kami mengiyakan.
Hari mulai gelap, Pak Lurah pulang.
Gak lama setelah itu, malam pun tiba..
Rentang suasana indah perkebunan berubah jadi hening kosong, seiring bergantinya terang siang menjadi gelap malam. Aura dan hawanya berbeda, gelap sepinya seperti bernyawa, hidup, mengawasi, serasa memperhatikan.
Aku dan Wahyu duduk di teras depan selepas Isya, berbincang santai melepas lelah setelah bekerja seharian, sambil memandang lepas ke depan rumah, di mana hanya ada gelap menyelimuti siluet pepohonan karet.
Gelas kopi dan rokok mengiringi percakapan yang sesekali diiringi gelak tawa, kami seperti lupa dengan kehadiran Pak Lurah tadi sore, juga dengan pembicaraan sebelum beliau pulang, aku dan Wahyu sama sekali gak ada pembahasan mengenai hal itu. Lupa..
Obrolan terus berlanjut hingga lupa waktu, gak terasa sudah hampir jam 10 lewat.
Sepi yang sejak tadi ada, tetiba jadi makin sepi saja, serangga malam yang tadinya bersahutan tiba-tiba menghilang. Percakapan yang sebenarnya sudah berkurang intensitasnya, jadi malah berhenti, kami sama-sama terdiam karena merasakan perubahan ini. Dan, entah bagaimana, aku tiba-tiba jadi teringat omongan Pak Lurah tadi, dan aku yakin Wahyu pun sama, hal ini terjadi mungkin karena suasana berangsur berubah agak menjurus seram. Kami jadi sadar dan ingat semuanya..
“Ayok kita masuk aja, Yu,” aku bilang begitu.
Wahyu setuju, kemudian kami langsung masuk rumah, menutup pintu rapat-rapat lalu menguncinya.
Tanpa bersuara, kami masuk ke kamar depan. Suasana terasa makin mencekam, entah kenapa, membuat aku mulai was-was, sambil terus berharap semoga gak ada hal seram yang akan terjadi.
“Kita paksa diri buat tidur aja, Pak. biar cepat pagi,” Wahyu bilang begitu.
Aku tahu kalau Wahyu juga merasakan was-was yang sama, aku tahu juga kalau Wahyu pasti teringat dengan omongan Pak Lurah. Bodohnya, kami lupa akan hal itu, malah asik berbincang, padahal seharusnya pergi meninggalkan rumah ini, perkebunan ini.
Aku tidur di atas tempat tidur, sedangkan Wahyu tidur di bawah beralaskan tikar.
Saat seperti ini, waktu seperti sangat lambat berputar, sedangkan rasa kantuk gak juga datang.
Iya, rasa was-was dan khawatir menguasai perasaan.
Jam 11 malam..
Aku belum juga mengantuk.
Setengah dua belas, sepi terus menjadi-jadi, heningnya makin “ramai”. Semua warna malam menghilang, berubah menjadi spektrum yang hitam dan putih.
Menjelang jam 12, di mana cekam makin menjadi, kami mendengar suara, suara yang sebelumnya sudah beberapa kali kami dengar..
“Creek, Creek, creek..”
Suara itu terdengar di kejauhan, dari luar rumah.
Aku dan Wahyu berpandangan, karena sama-sama sadar kalau suara itu biasanya jadi pertanda akan kemunculan..
Udara terasa dingin, angin sepoy masuk dari lubang jendela kamar, menambah seram suasana.
“Creek, Creek, creek..”
Kedengaran lagi, namun kali ini terdengar lebih dekat dari sebelumnya!
Untunglah, suara itu hanya terdengar dua kali, setelah itu gak kedengaran lagi. Selesai? Belum..
Jam 12 kurang sedikit, dari ruang tengah ada suara, namun berbeda dengan sebelumnya, kali ini aku mendengar seperti suara kursi yang bergerak bergeser berpindah tempat.
“Grrrrttttt”
Kira-kira seperti itu bunyinya.
Aku terdiam, gak berani menggerakkan tubuh sedikit pun.
Kemudian kedengaran lagi, “Grrrtttttttt…”. Benar, aku yakin kalau suara itu adalah suara kursi atau meja yeng bergeser.
Perlahan bangun, aku melihat Wahyu ternyata sudah dalam posisi duduk. Kemudian aku turun dari tempat tidur, perlahan bergerak ke dinding, lalu duduk bersandar, wahyu mengikuti.
Sekali lagi, derit suara pergeseran meja atau kursi terdengar, memecah hening yang sejak tadi menguasai isi rumah.
“Pak Hery dengar juga?” Pelan, nyaris berbisik Wahyu bertanya.
“Dengar, Yu.” Aku menjawab pelan juga.
***
Dalam remang gelap, kami melihat kalau gagang pintu kamar perlahan mulai bergerak sendiri, seperti ada yang sedang coba membukanya dari luar..
ini yang kami takutkan, kengerian di luar berpindah masuk ke dalam kamar.
Setelah gagang pintu, berikutnya pintu mulai bergerak, perlahan bergeser terbuka.
Derit suara engsel pintu terdengar pelan namun jelas, memecah hening. Ya benar, pintu akhirnya mulai terbuka, perlahan..
Remang cahaya langit yang minim, yang menerobos masuk melalui sela-sela jendela, sedikit banyak bisa membantu penglihatan, jadi gak lagi gelap total walau tanpa pencahayaan.
Ruang tengah dapat terlihat walau gelap, setelah pintu kamar akhirnya sudah terbuka lebar.
Benar perkiraan kami, hampir seluruh perabotan ruang tengah sudah bergeser berpindah tempat, kecuali lemari kayu yang ada di bagian belakang masih pada tempatnya. Meja sudah bergeser ke dekat pintu kamar, dua kursi berpindah tempat ke depan lemari, sedangkan kursi panjang gak terlihat.
Tapi, bukan itu yang jadi perhatian, bukan.
Ada pemandangan yang sebenarnya sudah bisa ditebak dari awal, namun kami berusaha untuk terus mengelaknya, coba mengabaikan, tapi akhirnya benar kejadian.
Tepat di depan pintu, ternyata ada satu sosok yang bentuknya sudah sangat kami kenal, dia berdiri tegak menghadap kami yang masih saja duduk diam dalam ketakutan yang teramat sangat, di sudut kamar. Sosok ini setinggi manusia dewasa, tubuhnya berbalut kain putih kusam dengan ikatan di beberapa bagian tubuhnya, ikatan di kaki, di lutut, pinggang, leher dan di atas kepala. Di kepalanya, terlihat kalau bagian wajah gak tertutup kain, namun tetap hanya hitam pekat yang kelihatan.
Benar, ada pocong sedang berdiri di pintu kamar..
Aku terdiam, tubuh kaku sama sekali gak bisa digerakkan. Sementara Wahyu, dia menundukkan kepalanya, terdengar sedang menangis pelan.
Takut, tapi gak bisa mengalihkan pandangan, terus terpaku menatap pemandangan seram di hadapan.
Beberapa puluh detik lamanya kami saling berhadapan, cekam suasana seperti gak akan selesai, sontak seluruh dimensi waktu serasa berhenti. Sampai akhirnya, sosok seram mulai ada pergerakan, perlahan dia mulai memiringkan kepalanya, seperti hendak memperhatikan kami lebih seksama.
Aku berharap, semoga pocong ini gak masuk ke dalam kamar, semoga tetap di tempatnya saja, atau malah semoga cepat pergi menjauh lalu menghilang.
Tiba-tiba, pocong bergerak, tubuhnya jadi menghadap ke dapur. Setelah itu bergerak perlahan meninggalkan tempatnya, berjalan menuju dapur, sampai akhirnya hilang dari pandangan.
Kemudian, pemandangan yang tersisa tinggal keadaan situasi ruang tengah yang berantakan.
“Sudah pergi, Yu. Udah gak ada lagi,” Aku berbisik begitu.
Perlahan Wahyu mengangkat wajahnya, yang terlihat masih sangat ketakutan.
Kemudian aku berdiri, berjalan menuju pintu, menutup lalu menguncinya.
“Trus gimana, Pak? kita bertahan di sini?” Wahyu bertanya dengan suara bergetar.
Aku bingung menjawabnya..
Sementara itu, walaupun ketegangan agak mereda namun cekam masih meraja. Desir angin yang sempat terhenti, perlahan terasa lagi, suara dedaunan bergerak tertiup juga kedengaran lagi.
Melirik sebentar, aku memperhatikan jam dinding yang jarumnya menunjuk ke pukul satu lewat sedikit.
“Ya sudah, kita pergi dari sini aja,” tiba-tiba aku bilang begitu, setelah terpikir lebih baik menghindari kemungkinan masih adanya situasi seram menegangkan.
Tanpa dikomando, Wahyu lalu berjalan menuju pintu, membukanya perlahan, kemudian mengintip ke ruang tengah sebelum terbuka lebar.
“Aman, Pak. Gak ada apa-apa,” begitu katanya.
Dalam gelap, Wahyu mencari kunci motor, aku membuka pintu depan.
Motor terparkir di halaman, dengan begini memudahkan kami untuk segera pergi dari sini.
“Satu motor aja, Pak?” tanya Wahyu.
Aku mengangguk.
Walau gelap, pemandangan di luar rumah dapat terlihat, pandanganku sempat menyapu nyaris sekeliling. Barisan pohon karet yang rapi, membentuk terowongan panjang sampai batas pandang. Sepi dan hening menguasai, suara binatang malam gak ada sama sekali, yang ada hanya pergerakan kaki kami.
“Pak Heri aja yang bawa motornya,” sambil menyerahkan kunci, Wahyu bilang begitu.
Ya sudah, aku langsung naik ke atas motor lalu menyalakan mesinnya.
Wahyu duduk di belakang.
Lalu lampu motor kunyalakan, menghapus gelap pemandangan depan, walau gak terlalu terang tapi cahayanya cukup mampu membantu penglihatan jadi lebih jelas.
Suara mesin motor juga memecah kesunyian perkebunan seram ini, deru mesin kecilnya semoga gak menarik perhatian “Mereka”.
Beberapa saat kemudian, aku mulai memutar gas yang membuat motor mulai berjalan pelan. Tapi, ketika baru beberapa meter berjalan, tiba-tiba Wahyu mencengkram pinggangku, lalu bilang “Pak, berhenti,”
Kaget, aku langsung menghentikan motor.
Gak bicara apa-apa, tapi tangan Wahyu menunjuk ke arah depan kanan perkebunan.
“Ada apa sih, Yu?” penasaran, aku akhirnya bertanya.
Wahyu gak menjawab, tangannya terus menunjuk ke arah yang sama.
Ya sudah, aku lalu berusaha menangkap apa yang sedang Wahyu lihat.
Beberapa detik lamanya aku belum juga menangkap apa yang Wahyu maksud, yang terlihat hanya gelap dan kosong.
“Itu Pak, di bawah pohon,” nyaris berbisik akhirnya Wahyu bilang begitu.
Gelapnya suasana jadi makin sulit menembus menangkap pemandangan apa yang Wahyu maksud, namun aku terus berusaha.
Mengucek-ngucek mata, memicing, fokus, sampai akhirnya aku bisa melihat sesuatu,
Ada objek yang sedang berada di antara pepohonan karet, belum begitu jelas karena jaraknya cukup jauh. Langit malam yang tertutup awan kusam sebenarnya sedikit membantu penglihatan, terpaan cahayanya membantu memperjelas guratan tipis layaknya arsir pensil di atas kertas.
Makin penasaran, aku memutuskan untuk mengarahkan lampu motor ke arah objek mencurigakan itu. Lampu motor yang gak terlalu terang, namun bisa membantu penglihatan jauh lebih baik dari pada gelap total.
Nah, pada saat itulah akhirnya bisa melihatnya, jelas, mataku menangkap bentukan dari objek misterius itu.
Sosok tinggi besar, berbentuk bayangan hitam tiga dimensi, dia mengenakan seperti jubah panjang dari ujung kepala sampai menutup kaki. Sosok itu berdiri diam, sendirian, seperti sedang menatap kami dari kejauhan.
Awalnya tertegun seperti terhipnotis, tapi lama kelamaan rasa takut timbul membuncah, memenuhi isi kepala..
“Sosok seram itu lagi..” aku bergumam dalam hati.
Kenapa begitu?, karena memang ini bukan pertama kali kami melihatnya, bukan pertama kali dia muncul di hadapan. Kemunculannya selalu diiringi dengan keseraman..
Beberapa belas detik lamanya kami tertegun diam di atas motor, gak bersuara sama sekali.
Sampai akhirnya, sambil gemetar Wahyu bersuara, “Pak, kita pergi dari sini aja,”
Aku gak menjawab, tapi setuju dengan ajakan Wahyu.
Perlahan aku mulai memutar gas lagi, perlahan juga motor mulai bergerak, keluar dari halaman, meninggalkan rumah.
Jalan setapak yang akan kami lewati adalah jalur satu-satunya yang harus dilalui, gak ada jalan lain. Nah, sosok seram tadi ternyata berdiri gak jauh dari jalan setapak ini, hanya beberapa meter saja jaraknya. Dengan begitu, kami akan benar-benar berdekatan, beberapa saat lagi.
Motor terus bergerak maju, walau gak secara langsung tapi dari sudut mata aku dapat melihat kalau sosok bayangan hitam ini masih berdiri diam di tempatnya, di antara pepohonan karet.
Sementara Wahyu, aku merasakan kalau kepalanya bersandar di punggungku, dia sedang menunduk, gak berani melihat sekitar.
Sampai akhirnya, yang aku takutkan terjadi, motor benar-benar melintas di hadapannya persis, kami sangat dekat dengan sosok seram ini. Lalu, entah apa yang ada di dalam pikiran, saat itu aku malah reflek menatap langsung ke arahnya, jarak kami yang hanya beberapa meter saja, walaupun dalam keadaan gelap, tapi aku mampu melihatnya cukup jelas.
Benar, sangat menyeramkan. Tinggi besar, jubah hitam kusam menutup tubuhnya dari kepala sampai ujung kaki. Dan yang paling menyeramkan, ketika di beberapa detik akhir akhirnya tersadar, kalau aku perhatikan ternyata sosok ini berdiri melayang, tubuhnya gak menyentuh tanah..
Panik, aku lalu memutar gas lebih dalam, memacu motor supaya lebih cepat. Sambil terus berharap kalau sosok seram itu gak mengikuti kami dari belakang..
Tengah malam gelap itu, kami menyusuri jalan membelah perkebunan, coba untuk pergi meninggalkan. Deru mesin motor yang gak terlalu keras jadi satu-satunya bunyi yang terdengar, ditambah aku dan Wahyu sama sekali gak ada percakapan.
Kanan kiri jalan hanya ada pekat gelap, menyelimuti pepohonan karet yang berbaris rapat.
Kurang lebih, aku sudah cukup hapal jalan setapak ini, jadinya bisa mengira-ngira kapan kiranya kami akan keluar perkebunan lalu mulai masuk ke dalam hutan. Perkiraanku, beberapa menit ke depan kami akan masuk ke dalam hutan.
Satu menit..
Dua menit..
Lima menit..
Kami belum juga keluar dari perkebunan..
sepuluh menit..
Kami masih terus berada di dapam perkebunan karet.
“Pak, kok gak sampe-sampe ke hutan ya?” Akhirnya Wahyu bersuara..
Aku gak menjawab, tapi terus memacu motor.
Kenapa kami masih saja terus di dalam perkebunan? Kenapa gak juga masuk ke hutan? Seharusnya sejak belasan menit sebelum ini kami sudah keluar perkebunan, seharusnya begitu..
Was-was, khawatir, takut, semua bercampur jadi satu..
Puncaknya, ketika akhirnya kami “dipaksa” berhenti, karena tiba-tiba mesin motor mati mendadak..
Kami berhenti, entah di bagian perkebunan karet sebelah mana, kami gak tahu.
Iya, aneh, padahal bekerja menggarap perkebunan ini, tapi malam ini kami tersesat di dalamnya.
Masih tanpa percakapan, kami berjalan ke pinggir, menuntun motor yang mesinnya mati, lalu duduk di bawah salah satu pohon karet.
“Ini motor kenapa ya. Bensinnya ada, kemarin baru servis ke bengkel, kenapa tiba-tiba mogok,” Wahyu bergumam sambil memeriksa motor, berusaha untuk memperbaikinya. Sementara aku, duduk diam, memperhatikan sekitar.
Aneh, ini bagian perkebunan yang aku sama sekali gak tahu, gak mengenali.
Dan ada yang lebih aneh lagi, kami sama sekali gak mendengar ada suara apa pun, desir angin pun gak ada, heningnya mati.
Sementara itu, Wahyu masih terus berusaha memperbaiki motor, semampunya, bekerja dalam gelap.
Tapi, entah berapa menit kemudian, aku tersadar kalau Wahyu tiba-tiba sudah berhenti bergerak, dia diam dalam posisinya yang terakhir, dengan tangan masih memegang obeng, tapi wajah menghadap ke satu arah, lagi-lagi Wahyu seperti sedang melihat sesuatu.
“Ada apa, Yu?” tanyaku.
Wahyu diam gak menjawab, tapi masih dalam posisi duduk, tapi kemudian tangan kanannya perlahan menunjuk ke satu arah, ke kejauhan. Lagi-lagi Wahyu ingin menunjukkan sesuatu..
Aku langsung menatap ke arah yang ditunjuk oleh Wahyu, coba menangkap apa yang ingin dia tunjukkan.
Kali ini, aku gak harus bersusah payah, karena objek yang Wahyu maksud langsung dapat aku tangkap dengan penglihatan..
Di kejauhan, di dalam remang gelap, terlihat ada rombongan yang berjumlah belasan orang, mereka sedang berjalan bergerak perlahan ke arah kami..
Semuanya belum jelas kelihatan, masih berbentuk bayangan hitam karena kurangnya pencahayaan..
Awalnya aku berharap kalau itu adalah penduduk desa yang letaknya di dekat perkebunan, awalnya berharap seperti itu. Tapi, lama kelamaan, ketika mereka sudah makin dekat dan makin dekat lagi, sepertinya harapanku gak sesuai dengan kenyataan.
Makin dekat, kami makin ketakutan, karena sepertinya mereka bukan penduduk desa, penampakannya malah sangat menyeramkan..
**
Hai, balik lagi ke gw ya, Brii 🙂
Semoga penggalan untold story kali ini bisa mengobati rasa kangen dengan #RHDPK, insyaAllah minggu depan dilanjut lagi.
Terima kasih masih tetap setia baca cerita gw, terima kasih sudah menjadi teman terbaik. 🙂
Tetap sehat dan menyenangkan supaya bisa terus merinding bareng.
Salam,