Hotel Angker di Anyer #2

Banyak hotel yang tadinya menjadi tujuan kita untuk berlibur, malah berakhir jadi pengalaman seram yang gak akan terlupakan. Seperti satu teman berikut ini, dia akan bercerita pengalaman seramnya ketika berlibur di hotel angker di Anyer.

Di sini, di Briistory.

Lanjut di komentar ya

***

Juli, 2017.

Aku Ardi, karyawan swasta yang berkantor di Jakarta. Pada pertengahan tahun 2017, bersama dua teman, aku berlibur di satu hotel besar di kawasan wisata pantai Anyer.

Waktu itu kami berniat untuk menghabiskan akhir pekan dengan bersantai melepas penat, menginap di hotel yang berdiri di pinggir pantai luas membentang, landai tanpa karang.

Hotel yang kami pilih ini cukup terkenal, memiliki kawasan luas, punya beberapa gedung tinggi yang sangat mudah ditemukan, berdiri menjulang megah di sisi jalan utama, yatu jalan Raya Anyer. Hotel yang katanya sudah cukup tua, berdiri di awal 90-an.

Aku yang baru pertama kali menginjakkan kaki di hotel ini, cukup terpukau ketika sudah memasuki kawasannya. Sepintas, aku melihat bangunannya cukup megah dan besar, desainnya bergaya klasik eropa. Fasilitasnya lengkap, kami dapat memilih banyak kegiatan dalam atau pun luar ruangan. Intinya aku sangat senang ketika kami memutuskan untuk berlibur di sini

***

Waktu itu kami tiba sekitar jam setengah sebelas malam, Wildan dan Vira, dalam perjalanan sempat terjebak kemacetan di jalanan Jakarta, membuat kami sampai selarut ini.

Ketika sudah masuk ke gedung utama, kami disajikan pemandangan yang cukup mengesankan, lobby hotel besar dan luas, lampu-lampu mewahnya memancarkan cahaya terang tapi gak menyilaukan, menerangi setiap sudut ruangan.

Singkatnya, sementara Vira sedang melakukan proses check in, aku dan Wildan duduk di sofa besar tepat di bawah lampu kristal. Tempat kami menunggu ini sangat nyaman, ditambah ketika belum lama kami duduk, tiba-tiba ada seorang staff hotel yang memberikan minuman selamat datang.

Di kejauhan, sesekali terdengar suara deburan ombak yang menghantam bibir pantai. Angin sepoy juga terasa dinginnya menyentuh permukaan kulit. Gak terlalu jauh dari lobby, pantai sudah dapat kami injak pasirnya.

Dari sisi sebelah kiri kami duduk, juga terdengar sayup-sayup suara musik yang sepertinya bersumber dari café and lounge yang letaknya di bagian kiri gedung. Gw baca brosur yang ada di atas meja, café itu bernama Sahari, buka setiap akhir pekan, menyajikan musik hidup dari home band mereka.

Sungguh tempat yang sangat pas untuk berlibur, menyenangkan dan menenangkan.

Tapi, ada sedikit keanehan..

“Kok sepi ya Dan, padahal ini kan udah wiken.” Begitu tanyaku ke Wildan yang sedang duduk bersandar melepas lelah.

“lah iya ya, pada ke mana orang-orang..” Wildan menjawab dengan pertanyaan.

Untuk hotel sebesar ini, suasananya sangat sepi di akhir pekan. Normalnya, banyak berseliweran tamu hotel, tapi ini nggak, sangat sepi, gak ada orang sama sekali. Atau mungkin sudah terlalu malam? Ah mungkin itu jawabannya.

“Udah beres Vir?” Tanya gw ketika Vira tiba-tiba sudah duduk di sebelah.

“Udah, yuk ke kamar dulu. Di lantai lima, tower Nakuli” Begitu jawab Vira.

***

Jangan lupa baca ini juga ya:

Kamar yang kami sewa berbentuk apartemen dengan dua kamar, memiliki dapur, dan katanya ada teras yang langsung menghadap pantai. Sepertinya tempat yang besar dan akan menyenangkan buat kami tinggal.

“Ah nanti ke café itu yuk habis mandi, lumayan dengerin musik bentar.” Begitu Wildan bilang ketika kami sudah dalam perjalanan menuju kamar. Gw dan Vira mengiyakan, setuju dengan usul Wildan.

Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh menuju kamar, untung saja ada mas room boy yang dengan baik hati mengantarkan, jadi gak harus mencari dahulu letak pastinya. Dari lobby, kami harus melewati satu lorong panjang bercahaya remang, lorong sepi, gak ada orang sama sekali, hanya kami berempat yang mengisi kekosongannya dengan langkah kaki. Di ujung lorong akhirnya kami menemukan lift, lift yang akan mengantar ke lantai lima, tempat dimana kamar kami berada.

Sesampainya di lantai lima, suasananya sama, sepi sekali, seperti gak berpenghuni.

“Kok sepi banget ya mas, apa biasanya emang begini? Kan ini wiken.” Begitu Tanyaku ke room boy yang dengan semangat menemani.

“Memang sepi mas, entah kenapa wiken ini tamu agak sepi.” Mas room boy menjawab dengan kalimat pendek, gam memberi jawaban.

Permukaan lantai di lorong lantai lima ini bukan berlapis karpet seperti hotel mewah pada umumnya, tapi terbuat dari keramik berwarna kusam namun bersih. Sama seperti lantai dasar tadi, cahayanya juga remang, lampu menyala semua tapi gak terang benderang, entah memang sengaja dibuat seperti ini atau karena daya listriknya yang kurang, aku gak tau, pokoknya cahayanya remang cenderung gelap.

***

“Ini mas kamarnya.” Begitu kata Mas Room boy di depan pintu kamar dengan nomor 504.

Nyaris di ujung lorong, hanya berjarak satu kamar dari ujung gedung.

Setelah pintu dibuka, kami dipersilakan masuk.

Benar adanya, kamar berbentuk apartemen ini besar dan luas. Ruang tengah menjadi pemandangan awal ketika kami sudah di dalam, sofa besar dan sepertinya nyaman berada di depan meja kaca, keduanya menghadap tv.

di ujung ruang tengah ada pintu yang sepertinya sebagai akses menuju teras.

Nyaman, kamar hotel ini sangat nyaman.

Mas room boy menjelaskan detail keseluruhan kamar ini, setelah itu dia pamit untuk pergi meninggalkan kamar.

“Terima kasih mas” Ucapku sambil mengantar dia ke pintu.

Setelah itu, aku duduk di sofa, menyalakan tv, bersandar melepas lelah. Vira di kamar mandi, Wildan sedang menikmati pemandangan di teras depan kamar.

Cukup lama kami berposisi seperti itu..

Sampai akhirnya, ada yang sedikit mengganggu kenyamananku yang sedang bersantai. Jarak dari sofa ke pintu keluar memang agak jauh, sekitar lima atau enam meter, tapi ada suara dari luar yang menarik perhatian.

Suara langkah kaki di lorong depan kamar, langkah kaki seperti sedang terburu-buru, sepertinya berlari-lari kecil.

Awalnya aku mencoba untuk gak menghiraukan, dan lanjut menonton tv, tapi lama-kelamaan semakin mengganggu, karena langkah kaki itu seperti bolak-balik mondar-mandir di depan kamar kami.

“Siapa sih berisik banget di depan kamar.” Begitu gumamku dalam hati.

Kemudian aku bangkit dari duduk dan berjalan menuju pintu, akhirnya timbul rasa penasaran bercampur kesal. Tapi anehnya, ketika sedikit lagi sampai pintu, aku mendengar kalau langkah-langkah kaki itu pergi menjauh dari depan kamar.

***

Rasa penasaran semakin besar, kemudian aku membuka pintu.

Gak ada siapa-siapa, depan pintu kamar kosong.

Melongokkan kepala, lalu aku menoleh ke kiri. Sama juga, kosong, gak ada siapa-siapa, hanya terlihat dua pintu kamar lain yang dalam keadaan tertutup.

Tapi akhirnya, aku melihat sesuatu ketika menoleh ke kanan, ke arah lorong panjang berpenerangan remang, lorong yang menuju lift.

Awalnya gak menaruh perhatian, karena tempat aku berdiri sangat jauh jaraknya dari lift,

Lift? ada apa dengan lift?

Iya, ada sesuatu di depan lift.

Sempat memicingkan mata, akhirnya aku dapat melihat dengan jelas dalam keremangan cahaya.

Dari kejauhan, aku melihat ada anak perempuan yang sendirian persis di depan pintu lift. Berumur sekitar tujuh atau delapan tahun, barpakaian putih dengan rambut panjang sebahu. Dari tempatku melihatnya, dia berdiri menyamping, menghadap lift.

“Oh, ternyata anak itu yang tadi lari-larian di lorong.” Pikirku dalam hati.

Sementara dia masih diam berdiri menghadap lift.

Gak lama, aku masuk ke kamar lagi dan menutup pintu.

Tapi entah kenapa, tiba-tiba aku tertarik untuk melihat keadaan anak itu sekali lagi, kenapa dia sendirian malam-malam begini? kemana orang tuanya?

Beberapa detik kemudian aku membuka pintu sekali lagi, lalu melongokkan kepala untuk melihat lift.

Anak perempuan itu udah gak ada, depan lift kosong, gak ada orang sama sekali.

“Ah, mungkin dia sudah masuk lift,” Gumamku dalam hati.

“Ngapain lo Dy?” Suara Wildan mengagetkanku.

“Tadi ada anak kecil lari-larian depan kamar, berisik banget.” Jawabku.

“Ah, gw gak denger apa-apa.” Lanjut Wildan.

“Iya, udah masuk lift,”

Aku menutup percakapan.

***

“Yuk ah ke bawah, kayaknya tadi band-nya bagus.”

Vira yang sudah selesai mandi dan kelihatan cantik mengajak kami untuk langsung menuju café yang ada di lantai bawah di dekat lobby.

Sementara Wildan sedang berada di toilet.

“Nanti kalo Wildan udah siap, lo berdua duluan ke bawah aja, gw nyusul nanti beres mandi.” Aku berkata begitu.

“Bener ya. Lo harus nyusul. Masa iya liburan lo malah tidur cepet, gak asik ah.” Begitu kata Vira sambil memainkan ujung rambutnya.

Aku butuh istirahat sebentar aja, mandi untuk menyegarkan badan. Setelah itu akan menyusul mereka ke bawah.

Jam setengah 12 tengah malam, akhirnya Wildan juga sudah rapih dan siap berangkat.

Mengikuti saranku tadi, akhirnya mereka berdua berangkat duluan ke café di bawah. Meninggalkanku sendirian di dalam kamar yang besar ini.

***

Air hangat yang mengucur dari pancuran kamar mandi, sungguh membuat badanku segar, untuk sementara hilang sudah penat dan lelah yang menggelayut setelah menempuh perjalanan dari Jakarta tadi.

Image by tookapic from Pixabay

Selesai mandi, aku berpakaian agar segera langsung bisa menyusul Vira dan Wildan.

Sebelum pergi, aku menyempatkan diri untuk melihat pemandangan luar hotel di teras kamar. Berdiri sendirian menghadap langsung ke laut, menikmati angin malam yang bertiup perlahan menyentuh tubuh. Laut kelihatan bergelombang tenang, sementara di atasnya membentang langit cerah bertabur bintang, sangat indah pemandangannya.

Lalu sebentar melempar pandangan ke bawah, aku melihat lingkungan kawasan hotel yang sangat sepi, gak ada orang sama sekali. Aneh, ini kan akhir pekan, tapi pengunjung dan tamu sangat sepi, entah kenapa.

Hanya beberapa menit aku menikmati suasana teras, sampai akhirnya ada sesuatu lagi yang mengganggu suasana.

Sekali lagi aku mendengar langkah kaki, suara langkah kaki yang pola dan hentakannya sama dengan yang aku dengar pertama kali tadi.

“Wah, anak kecil itu lari-larian lagi.” Ucapku sendirian.

Ya sudah, sekalian akan keluar untuk ke lantai bawah, aku akan melihat dan menegur anak itu supaya jangan berlarian di lorong tengah malam begini, suaranya sangat mengganggu.

***

Suara langkah kaki anak itu tiba-tiba menghilang ketika aku membuka pintu kamar, suasananya kembali senyap, kembali sepi.

Entah ke mana anak itu berlari, hanya hitungan detik sudah gak kelihatan lagi.

Ya sudahlah, aku gak berpikiran macam-macam, lalu menutup pintu dari luar dan menguncinya.

Lorong yang membentang panjang di tengah-tengah pintu kamar ini cukup remang untuk ukuran hotel besar dan mewah seperti ini. Jujur aja, nyaliku agak sedikit berguncang melihat lorong panjang ini, disamping remang dan juga sepi, gak ada orang sama sekali.

Tapi walaupun begitu, aku tetap melangkahkan kaki, berjalan menuju lift yang letaknya cukup jauh.

Lantai lima ini benar-benar sepi, jangan-jangan hanya kami yang menginap, sementara kamar lainnya kosong, begitu tebakan dalam pikiranku.

Mengenakan sneakers yang alasnya karet, langkah kakiku nyaris gak bersuara ketika bersentuhan dengan keramik lantai. Seharusnya begitu..

Tapi ada yang aneh, ketika sudah beberapa belas langkah, aku mendengar ada suara langkah kaki lagi, yang aku sangat yakin bukan suara langkah kakiku, karena iramanya berbeda..

Suara langkah kaki, sepertinya bersumber dari belakang, karena itulah akhirnya perlahan aku menoleh ke balakang.

Ternyata kosong, gak ada orang sama sekali.

“Ah mungkin suara dari dalam kamar.” Ucapku membesarkan hati.

Lalu aku melanjutkan langkah, sudah setengah jalan untuk sampai lift.

Tapi tiba-tiba suara langkah kaki itu muncul lagi, suaranya sangat dekat, terdengar sepeti hanya beberapa langkah saja di belakang. Reflek, aku langsung menoleh ke balakang..

***

Masih sama, gak ada orang sama sekali, hanya terlihat lorong kosong panjang dan gelap.

Di titik ini aku mulai gak tenang, mulai berpikiran macam-macam.

Aneh, ada suara langkah kaki tetapi orangnya gak ada. Aku yakin kalau gak sedang berhalusinasi, aku mendengar dengan jelas suara langkah kaki itu, aku yakin.

Ketika sudah berada di depan lift, keadaannya masih sama, sangat sepi, hanya suara debur ombak di pantai terdengar sayup-sayup sesekali.

Aku terus berdiri sambil memperhatikan angka yang muncul di samping pintu lift, ternyata lift masih di lantai satu, kemudian bergerak pelan menuju lantai lima untuk menjemputku. Dalam hati berharap supaya lift cepat-cepat sampai, perasaanku mulai gak enak, sepertinya ada yang gak beres di sekitar tempatku berdiri.

Ting..!

Akhirnya lift sampai, kemudian pintunya terbuka.

Benar dugaanku, lift dalam keadaan kosong.

Dengan perasaan yang semakin gak enak, aku melangkah masuk, gak ada pilihan lain.

Aku menekan tombol lantai dasar, kemudian pintu perlahan tertutup.

Beberapa detik kemudian, aku sedikit terkejut, karena bukannya bergerak ke bawah lift malah bergerak ke atas.

“Oh mungkin ada tamu di lantai atas yang juga pingin turun.” Aku menenangkan diri sendiri.

Benar, lift bergerak ke atas, menuju lantai atas.

6..

7..

8..

Lift belum juga berhenti, bergerak pelan terus ke atas. Aku semakin gelisah, mau sampai lantai berapa ini kira-kira?

9..

10..

Ting..!

Akhirnya lift berhenti, di lamtai 10.

Kemudian pintu terbuka perlahan.

Aku hanya diam menunggu sampai pintu benar-benar terbuka..

Beberapa detik kemudian, pintu terbuka penuh, yang pada akhirnya aku dapat melihat semuanya, melihat pemandangan seram yang ada di hadapan.

***

Lift berhenti di lantai 10, pintunya terbuka lebar dan bertahan seperti itu cukup lama. Aku buru-buru menekan tombol menutup pintu karena di luar gak ada orang sama sekali, kosong, sepi, dan gelap.

Tapi pintu gak juga mau menutup. Tetap terbuka lebar.

Iya, gelap, lantai 10 sangat gelap, gak ada lampu menyala sama sekali, penerangan hanya bersumber dari cahaya lampu dari dalam lift.

Penasaran, aku melongokkan kepala keluar, lalu melihat sekitar, siapa tau memang ada orang di luar. Menoleh ke kanan, kemudian ke kiri, gak melihat ada siapa-siapa, disamping gelap, juga gak ada suara atau hal lain yang menandakan kalau ada orang di situ.

Sepi..

Rasa cemas menuju ketakutan mulai timbul ketika akhirnya aku mendengar sesuatu..

Ada suara langkah kaki lagi, suaranya bersumber dari sebelah kanan, suara langkah kaki yang terdengar seperti berlari kecil.

Sekali lagi aku melongokan kepala, lalu menoleh ke kanan.

Gak ada, aku gak melihat si empunya langkah kaki yang terdengar, aku hanya melihat gelap dan senyap. Yang menakutkan, walaupun gak ada siapa-siapa, tapi langkah kaki itu masih terdengar, malah kedengarannya semakin mendekat, makin dekat ke lift!

Tok, tok , tok ,tok..

Kira-kira seperti itu bunyinya..

Aku panik, lalu mundur dan masuk ke dalam lift, menekan tombol penutup berulang-ulang.

Sukurlah, lift akhirnya menutup perlahan.

Tapi sebelum pintu tertutup penuh, aku masih mendengar suara langkah kaki itu, yang semakin dekat dan mendekat, sampai akhirnya langkahnya berhenti, sepertinya berhenti tepat di depan pintu lift.

Beberapa detik kemudian pintu benar-benar tertutup rapat.

Lift bergerak turun perlahan, sedikit lega aku melihat pergerakannya. Semoga kali ini akan berhenti di lantai yang benar, lantai dasar.

***

Menuju lantai dasar, perasaan masih gak enak, aku masih ketakutan dengan peristiwa yang baru saja terjadi.

Di dalam lift, aku berdiri dekat pintu, dekat dengan tombol-tombolnya, nyaris rapat dengan dinding lift di sebelah pintu.

Ketakutanku bermakna, perasaanku yang masih gak enak ternyata ada sebabnya.

Aku yang berdiri di depan, tiba-tiba mendengar suara tertawa cekikikan..

Iya, ada yang tertawa cekikikan dari dalam lift..

Ternyata aku gak sendirian..

***

Keringat dingin mulai mengucur di dahi, dalam hati aku berharap ini hanya halusinasi.

Aku ketakutan, memejamkan mata gak mau melihat sekitar.

Suara tawa cekikikan semakin jelas terdengar, sampai akhirnya aku yakin kalau ini adalah suara tawa dari seorang anak kecil. Anak kecil ini sepertinya sedang berdiri di belakangku..

Beberapa detik kemudian, awalnya berniat hendak melihat kira-kira sudah sampai di lantai berapa, aku terpaksa membuka mata. Ternyata sudah di lantai dua, berarti sebentar lagi sampai lantai dasar.

Pada saat inilah aku dapat melihat semuanya, aku dapat melihat sumber suara tawa cekikikan itu. Dari pantulan pintu lift yang seperti cermin, aku melihat semuanya.

Benar, ada anak kecil yang sedang berdiri di bagian belakang lift, di belakang sebelah kananku berdiri.

Anak perempuan kecil, berumur sekitar delapan tahun, mengenakan baju panjang berwarna putih, rambutnya panjang terurai. Aku yakin kalau dia adalah anak yang sama dengan yang aku lihat pertama kali tadi.

Aku yakin ini adalah anak perempuan yang sama.

Dia terus tertawa cekikikan memperhatikan aku yang berdiri ketakutan.

Pandanganku seperti terpaku, terus menatap wajah pucatnya. Aku terus memandang matanya yang memiliki lingkar hitam di sekeliling. Sungguh sangat mengerikan..

Aku tambah ketakutan, ketika ternyata kalau lift terus berjalan, melewati lantai dasar lalu menuju basement. Semakin lemas tubuhku terbelenggu kengerian.

***

Pada akhirnya, anak perempuan ini berhenti tertawa, ketika lift sudah benar-benar berhenti di basement. Tapi aku lihat, dia tetap berdiri diam di tempatnya.

Ting..!

Pintu terbuka perlahan.

Ketika pintu sudah terbuka penuh, aku masih diam dalam ketakutan, nyaris menangis ketika melihat kalau di luar ternyata keadaanya gelap juga, sangat gelap.

Tiba-tiba anak perempuan ini berlari ke luar sambil tertawa pelan. Langkahnya riang, meninggalkanku dalam ketakutan.

Hanya beberapa langkah dari pintu, dia berhenti, membalikkan tubuhnya jadi menghadap ke arahku. Lalu ia tersenyum sambil melambaikan tangan..

Bergegas aku menekan tombol penutup pintu berkali-kali.

Gak ada kendala, pintu akhirnya menutup perlahan. Sementara dalam prosesnya, aku melihat anak itu masih berdiri tersenyum sambil melambaikan tangan.

Lalu lift bergerak ke atas, menuju lantai dasar.

***

Hai,

Balik lagi ke gw ya, Brii.

Stay safe, stay Healthy, sampai jumpa lagi dengan cerita gw berikutnya.

Met bobo, semoga mimpi indah,

Salam

~Brii~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *