Seperti tempat-tempat lain, perkebunan karet yang menyeramkan ini ternyata memiliki sejarah panjang yang kelam. Ada kisah suram di belakangnya, di sinilah semuanya berawal. Simak Prekuel berikutnya dari rhdpk, hanya di sini, di Briistory.
***
Desa Sindang Hulu, 1953.
Sebagian limpahan anugerah Tuhan terhampar di salah satu desa terpencil di pedalaman Sumatera. Terang saja dibilang begitu, karena desa ini wilayahnya subur, sungai besar dengan airnya yang bersih mengalir di batas desa, udara dan alamnya indah, dikelilingi hutan belantara yang tampak seperti melindungi dari dunia luar. Kira-kira gambarannya seperti itu.
Bukan termasuk desa yang berada di dataran tinggi, tapi udaranya cukup sejuk walau berada gak jauh dari bentangan garis Khatulistiwa.
Sebagian besar penduduknya bekerja dengan bertani atau berkebun, ditunjang dengan tanah subur dan air berlimpah, hasilnya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Hasil tani dan kebun nantinya akan dijual ke kota, atau ditukar dengan barang-barang kebutuhan lain yang belum bisa mereka hasilkan sendiri.
Desa ini gak terlalu besar, jumlah penduduknya hanya puluhan kepala keluarga, gak sampai ratusan. Sehingga mungkin masing-masing orang yang tinggal di situ kenal satu sama lain.
Letak satu rumah dengan rumah lain berjarak cukup jauh, masing-masing memiliki halaman luas dengan pepohonan di dalamnya.
Warganya lebih banyak berjalan kaki kalau bepergian ke mana pun, tapi kalau jaraknya cukup jauh mereka akan menggunakan seped. Gerobak yang ditarik sapi atau kerbau akan dan bisa menjadi alat tansportasi kalau harus membawa barang bawaan cukup banyak, hasil kebun dan tani contohnya.
Secara keseluruhan, Desa Sindang Hulu ini bisa dibilang desa yang penduduknya hidup damai dan tentram, dengan alamnya yang indah.
***
~Pada suatu malam,~
Bulan yang sebelumnya menerangi dengan pantulan sinarnya, kini tertutup awan kusam. Makanya, Yudar memutuskan untuk menyalakan lagi obor di tangan karena suasana jadi gelap total. Rumah-rumah penduduk yang dilintasi hanya kelihatan seperti lukisan hitam, lampu templok yang biasanya dipasang di teras sudah dalam keadaan mati.
Sekitar jam setengah satu lewat tengah malam, Yudar sedang dalam perjalanan pulang setelah berkunjung dari rumah Umay, temannya. Sebenarnya, rumah Umay yang letaknya di desa sebelah, gak terlalu jauh dari rumah Yudar, hanya kira-kira setengah jam bersepeda jaraknya. Tapi karena kebetulan tadi ketika mau pulang rantai sepedanya putus, terpaksa Yudar harus berjalan kaki.
~~~ “Ayoklah, aku antar saja kau, Dar. Dari pada harus jalan kaki, kan.”
Sebenarnya Umay sudah menawarkan untuk mengantar pulang dengan berboncengan menggunakan sepedanya, tapi Yudar gak mau, tetap bersikukuh ingin pulang jalan kaki saja.
“Gak apa, May. Tenang saja. Lihat itu bulan bersinar dengan terangnya, gak akan gelap lah di jalan, hehe.” Jawab Yudar menolak tawaran Umay.
Begitulah, akhirnya Yudar benar pulang berjalan kaki, meninggalkan sepedanya di rumah Umay. ~~~
Sunyi, sepi, gak ada suara sama sekali, apa lagi di ujung desa. Jalan tanah yang membelah pemukiman sama sekali gelap, tanpa penerangan, hanya cahaya redup malam yang membuat mata jadi terbiasa mengikuti alurnya.
Sudah kira-kira setengah jam Yudar berjalan kaki, hanya tinggal beberapa puluh meter lagi sebelum memasuki wilayah hutan. Bukan merupakan hutan yang rindang, tapi cukup membuat sebagian besar penduduk harus berpikir ulang untuk melintasinya ketika hari sudah gelap. Hutan ini lebih banyak berisi pepohonan kapas dan rindang bambu, akan menimbulkan suara riuh seram ketika bergerak diterpa sepoi angin.
Di dalam hutan akan ditemui sungai cukup besar, kalau mau menyeberang harus menaiki jembatan kayu yang melintang di atasnya. Jembatan kayu ini sangat kokoh, sudah puluhan tahun jadi penghubung dua desa, dapat dilalui juga oleh gerobak/kereta yang ditarik Kerbau atau sapi.
Nah, sungai inilah sebenarnya yang jadi batas antara desa Umbulan Batu tempat tinggal Umay dan Sindang Hulu tempat tinggal Yudar.
***
Baca juga:
Menyeka keringat, Yudar menarik nafas panjang lalu menghelanya, ketika langkah kaki mulai masuk wilayah hutan pada akhirnya. Sudah beberapa kali dia memaki diri dalam hati kenapa harus sampai berada di dalam situasi seperti ini, situasi mencekam dan mulai menakutkan, berjalan kaki di tengah malam. Tapi nasi sudah menjadi bubur, gak lagi bisa mengubah alur.
Jalanan desa yang tadinya melintas di depan rumah-rumah penduduk, kini sudah berubah, kanan kiri hanya terlihat pepohonan rapat menghias kelu malam.
Coba untuk mengabaikan sekitar, Yudar terus melangkah. Api dari obor yang dia genggam, bergeliat bergoyang tertiup pergerakan angin, cahayanya menghasilkan bayangan dari objek apa pun yang ada di hadapan.
Juga, gak ada suara apa-apa, Yudar hanya mendengar gerak kakinya saja yang sedang melangkah. Walau sesekali suara dedaunan kering yang remuk terinjak jadi selingan dalam kesunyian.
Pohon kapas dan bambu sekitar yang berdesakan, hanya berdiri diam tanpa pergerakan.
Nah, ketika sudah berada di tengah-tengah hutan, tiba-tiba Yudar mendengar sesuatu..
Ada yang menarik perhatiannya. Dalam keadaan sunyi sepi begini, suara sekecil apa pun akan terdengar jelas. Yudar mendengar seperti ada yang bergerak di belakangnya..
Seperti langkah kaki, tapi terseret.
Yudar menghentikan langkah, lalu menoleh cepat ke belakang, kemudian mengarahkan cahaya obor untuk menerangi sekitar.
Gak ada apa-apa, gak ada siapa-siapa, suara itu juga tiba-tiba menghilang gak kedengaran lagi.
Ya sudah, Yudar kemudian lanjut berjalan.
Tapi gak bisa dipungkiri, kalau Yudar sudah mulai merasakan ada yang aneh, rasa cemas mulai menemani ketakutan yang sejak tadi sudah timbul tenggelam.
Kemudian, ternyata senyap hanya sebentar, suara dari pergerakan misterius di belakang kembali terdengar..
Kali ini Yudar menajamkan pendengaran, tanpa menoleh melihat langsung. Benar, terdengar seperti ada yang bergerak di belakang. Tapi kali ini bukan suara langkah kaki terseret, melainkan seperti ada yang bergerak menerjang pepohonan, menembus rapatnya hutan, dan jaraknya gak jauh.
Reflek, kemudian sekali lagi Yudar menoleh ke belakang, memperhatikan sebentar sambil lagi-lagi langkahnya berhenti.
“Kosong, gak ada siapa-siapa. Suara apa sih itu sebenarnya?” gumam Yudar dalam hati, sambil coba terus memerangi kecemasan.
Kemudian dia mulai lanjut berjalan lagi, kali ini lebih cepat dari sebelumnya.
Tapi, semakin Yudar mempercepat langkah, semakin cepat juga pergerakan misterius yang ada di belakang mengikuti.
Iya, seperti ada yang mengikuti dari belakang, Yudar semakin cepat berjalan, ketakutan.
Nafas mulai tersengal, mati-matian menjaga api obor untuk tetap hidup diterjang tiupan angin. Keringat bercucuran, langkahnya semakin cepat ketika suara di belakang semakin riuh dalam senyap.
Aneh, Yudar merasa sepertinya sumber suara berpindah tempat, yang tadinya seperti sejajar dengannya kali ini kok sepertinya berasal dari atas, di pepohonan. Namun tetap sama, suaranya seperti ada objek yang sedang menembus rapatnya hutan.
Entah karena penasaran atau apa, yang tadinya gak berani, tiba-tiba Yudar menoleh ke belakang lagi untuk melihat dan mencari tahu sumber suara..
Sekali lagi, dia mengarahkan cahaya obor ke tempat yang mencurigakan, yaitu di atas pepohonan.
Pada saat inilah, akhirnya Yudar melihat sesuatu..
Tiba-tiba suara itu terdengar lagi, benar seperti ada yang sedang menembus rindang pepohonan. Dan benar, suaranya berasal dari atas.
Awalnya, Yudar hanya melihat dedaunan bagian atas bergerak seperti ada yang menembus menabrak, tapi belum kelihatan apa yang sedang bergerak, karena cahaya api obor gak sanggup menjangkau. Tapi, akhirnya Yudar dapat melihat ada sesuatu ketika penglihatan sudah mulai terbiasa dalam keremangan..
Ada sosok berbentuk seperti manusia tinggi besar, hitam pekat seperti bayangan, dia sedang berdiri di atas pohon, diam memperhatikan.
Yudar terpaku, tubuhnya gak bisa digerakkan, terkesima melihat pemandangan itu.
Namun, ketika Yudar masih bergulat dengan keterkejutan, Tiba-tiba sosok itu bergerak terbang melayang menembus pepohonan, menghasilkan suara persis seperti yang dia dengar sejak tadi.
Tersadar, Yudar langsung mengalihkan pandangan, membalikkan badan kembali menuju ke arah pulang.
Ketakutan, yang sebelumnya langkah kaki hanya berjalan cepat kali ini berubah menjadi langkah berlari.
Mengabaikan pergerakan di belakang yang kembali terdengar, Yudar terus berlari.
Di kejauhan, akhirnya Yudar sudah melihat ada jembatan, jembatan yang melintang di atas sungai besar perbatasan. Semakin cepat berlari, karena gak terlalu jauh dari jembatan dia akan menemui batas desa Sindang Hulu tempat tinggalnya.
Ketakutan, nyaris menangis, Yudar mendengar kalau sosok misterius di belakangnya terus-terusan kedengaran bergerak. Yang membuat semakin mencekam, sepertinya bukan hanya satu, tapi ada beberapa sosok yang sedang bergerak berkelebat mengikuti.
Beberapa puluh detik kemudian, akhirnya Yudar sampai juga di jembatan.
Aliran air sungai yang gak terlalu deras, namun tetap masih menimbulkan suara. Tapi walaupun begitu, riuh kelebatan pergerakan seram di belakang masih juga terdengar, namun tetap Yudar bergeming mengabaikan, memilih untuk fokus memperhatikan ke depan.
Kemudian akhirnya kaki mulai menginjak badan jembatan yang terbuat dari batang kayu besar. Jembatan ini cukup kokoh, gerakan melangkah Yudar gak membuatnya bergerak. Panjangnya sekitar 30 meter, memakan cukup banyak waktu untuk menyebrangi, apa lagi di tengah kondisi menakutkan seperti ini, semakin terasa lama.
Di tengah jembatan, Yudar merasa kalau suara-suara di belakangnya gak lagi mengikuti namun tetap kedengaran, sepertinya mereka gak ikut menyeberang. Tapi gak peduli akan hal itu, Yudar terus berjalan cepat menyeberang.
Dengan nafas tersengal, akhirnya Yudar sampai juga di seberang. Gak lagi berlari, langkahnya jadi berjalan cepat, mulai kelelahan.
Beberapa meter setelah jembatan, entah apa yang ada di pikirannya, tiba-tiba Yudar berhenti lalu menoleh ke belakang..
Kemudian jantungnya kembali berdegup kencang, ketika melihat pemandangan yang menyeramkan. Di ujung jembatan, ada berdiri tiga sosok tinggi besar yang masih saja berbentuk bayangan hitam. Mereka diam seperti menatap Yudar dari kejauhan. Menyeramkan..
Beberapa detik lamanya Yudar terpaku memperhatikan, sampai akhirnya tersadar lalu mulai berlari kencang ketika melihat sosok itu tiba-tiba semuanya berkelebat terbang, melayang di atas jembatan menyeberangi sungai, menuju ke tempat Yudar tengah berdiri!
Yudar terus berlari, sambil menangis pelan. Sementara sosok seram itu terdengar masih seperti terus mengikuti.
Untunglah, beberapa saat kemudian, di kejauhan mulai terlihat ada rumah penduduk, pertanda kalau batas luar desa Sindang Hulu sudah dekat.
Gak berani lagi menoleh ke belakang, Yudar terus berlari kencang.
Rumah Yudar dan neneknya, terletak gak jauh dari batas desa, sehingga gak lama kemudian Yudar sudah sampai di depan pintu rumahnya.
“Nek, buka pintu, Nek. Nek, Nek, cepat Nek.” Suara Yudar gemetar sambil tangannya terus mengetuk pintu depan.
Gak lama, sang Nenek akhirnya membukakan pintu.
“Malam sekali kamu pulangnya, Nak.” Wajah cemas Nenek sangat kelihatan.
“Iya, Nek. Maaf, tadi sepedaku rusak, jadi terpaksa jalan kaki dari rumah Umay.” Jawab Yudar masih berusaha mengatur nafasnya.
“Lalu, kenapa kamu tersengal seperti itu?, ya sudah, sana bersih-bersih dulu.”
Sepertinya, Neneknya Yudar sudah sedikit mengerti apa yang baru saja cucunya alami.
Kelegaan sudah mulai dirasakan Yudar, di dalam rumah ketakutannya berangsur menghilang, bergegas dia ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
~Beberapa hari sebelumnya~
“Nek, katanya semalam ada hantu terbang itu lagi, kok seram sekali ya, Nek.”
Di dapur yang letaknya di belakang rumah, Yudar bertanya kepada neneknya yang sedang berusaha menyalakan api di bawah tungku.
“Masak sih? Kamu kata siapa?” Jawab sang nenek, tanpa menoleh ke arah Yudar.
“Pak Ramdan, bapaknya Udin, Nek. Dia pulang mengaji dari musala hampir tengah malam.”
“Nah, itu bisa jadi peringatan buat kamu. Jangan sering-sering pulang malam. Bertemu hantu terbang itu nanti baru tau rasa,” Sang nenek bilang begitu, sambil terus meniup bawah tungku dengan bambu di tangannya.
Begitulah, pada suatu pagi di satu sudut desa Sindang Hulu, terjadi percakapan antara seorang cucu dengan neneknya. Cucu ini bernama Yudar, remaja berumur sekitar 17 tahun, sedangkan sang nenek biasa dipanggil Nenek Sarmi.
Sejak kecil Yudar memang tinggal di rumah neneknya, diasuh dengan penuh kasih sayang setelah ditinggal kedua orang tua. Iya, orang tuanya pergi ketika Yudar masih berumur empat tahun. Menurut cerita nenek Sarmi, waktu itu ayah dan ibunya Yudar pamit untuk mencari pekerjaan di kota, kemudian menitipkan Yudar kepada neneknya. Tapi, setelah hari berganti hari, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, orang tua Yudar gak pernah kelihatan batang hidungnya lagi, gak pernah kembali lagi, gak ada kabar sama sekali, meninggalkan Yudar sebatang kara. Tapi, gak apa-apa, Yudar sudah cukup bahagia tinggal dan diberi kasih sayang oleh neneknya, walau sesekali dia masih bertanya-tanya ke mana gerangan Bapak dan Ibunya.
“Tapi emang benar, Nek? Katanya hantu terbang itu udah ada sejak dulu?” Yudar masih penasaran.
“Menurut orang-orang kampung sih begitu,” Jawab Nenek.
“Nenek pernah ngeliat hantu itu?”
“Hmmmm.”
Pertanyaan terakhir dari Yudar membuat nenek Sarmi sejenak diam lalu menghela nafas panjang. Bergulat perasaannya, ketika harus memilih bercerita yang sebenarnya kepada Yudar atau berkelit berbohong menutupi kebenaran.
“Nek? Kok diam?” Yudar gak sabar menunggu jawaban Neneknya.
“Pernah, dulu sekali, ketika ayah kamu masih kecil.”
Akhirnya nenek menjawab dengan jujur, perihal peristiwa yang pernah dia alami puluhan tahun yang lalu.
“Nah, kenapa nenek gak pernah cerita?”
“Buat apa? Nanti kamu malah ketakutan,”
“Ah, nenek ini, aku kan pingin tahu gimana nenek melihat hantu-hantu itu. Seram gak nek? Gimana bentuknya? Benar-benar bisa terbang?”
Rentetan pertanyaan langsung keluar dari mulut Yudar, itu yang sebenarnya gak diinginkan oleh nenek Sarmi.
“Nanti ajalah ceritanya. Sudah, kamu pergilah ke ladang sana, membajak, besok nenek mau menanam benih.”
“Ah, nenek ini. Bikin aku penasaran aja.”
Setelah itu, Yudar bangkit dari duduknya lalu melangkah pergi. Menuruti perintah sang Nenek, dia lalu mulai bersiap untuk ke ladang untuk mulai membajak sawah.
Yudar anak yang baik, selama diasuh oleh neneknya dia gak pernah membantah, selalu menurut.
“Nenek gak punya siapa-siapa lagi, hanya tinggal kamu seorang, Yudar. Jadi, tolong untuk jangan membuat nenek kamu ini kecewa atau bersedih, harus selalu jadi anak yang baik.” Begitu Nenek bilang berkali-kali. Intinya, Nenek Sarmi sangat menyayangi cucu satu-satunya ini, begitu pula sebaliknya Yudar juga sangat menyayangi neneknya, gak pernah mau membuat beliau sampai menangis.
***
Jadi, desa terpencil yang tentram ini belakangan digegerkan dengan berita tentang adanya beberapa kejadian aneh yang terjadi.
Katanya, beberapa penduduk pernah melihat sosok-sosok menyeramkan di beberapa sudut desa. Katanya juga, sosok ini bentuknya seperti manusia yang tinggi besar namun wajah dan tempilan jelasnya masih misterius, karena selalu terlihat seperti bayangan hitam. Gak hanya malam hari, beberapa orang juga pernah melihat mereka ketika matahari masih bersinar. Sosoknya kadang hanya diam seperti sedang memperhatikan dari kejauhan, kadang berkelebat, ada pula yang melihat mereka terbang melayang, kadang muncul hanya satu sosok, kadang lebih dari satu. Intinya, sosok seram itu sangat menakutkan.
Makanya, beberapa waktu belakangan desa Sindang Hulu dan desa sebelah yang berdekatan sudah sangat sepi ketika malam datang, penduduk lebih memilihberdiam di dalam rumah, gak akan pergi ke luar kalau gak terpaksa.
Dan ternyata, menurut warga sepuh yang sudah tinggal di sini puluhan tahun lamanya, kemunculan sosok-sosok seram ini ternyata bukan yang pertama kali. “Mereka” sudah jadi kisah yang diceritakan lintas generasi secara turun temurun. Yang menyeramkan lagi, katanya kemunculannya selalu menandakan kalau akan ada bencana besar yang menimpa penduduk desa.
Makanya, Nenek Sarmi cukup berat untuk menceritakan semuanya kepada Yudar, dia gak mau cucunya nanti jadi ketakutan.
***
Lampu kecil berbahan bakar minyak jadi penerangan di ruang tengah, cahayanya yang redup temaram memberi cukup penerangan untuk penghuni rumah. Yudar sedang asik membersihkan sepedanya, sementara Nenek Sarmi masih sibuk menjahit pakaian yang robek.
Beberapa jam setelah makan malam, itulah kegiatan yang sedang dilakukan nenek dan cucu itu di dalam rumah.
Sementara malam semakin larut, udara beranjak dingin. Suasana desa juga sudah sangat sepi.
“Sudahlah, Dar. Besok lagi. Ini sudah malam, tidurlah.”
“Iya, Nek. Sebentar lagi.”
Mungkin kira-kira ketika sudah jam sebelas, Nenek Sarmi bangkit dari duduknya lalu melangkah ke belakang, ke kamar mandi. Sementara Yudar masih saja sibuk mengelap sepedanya di ruang tengah.
“Creeek, creek, Crekk.”
Tiba-tiba terdengar suara seperti itu.
Yudar langsung menghetikan kegiatannya, celingak-celinguk dia menajamkan pendengaran.
“Creeek, creek, Crekk.”
Kedengaran lagi, kali ini suaranya lebih keras, sepertinya sumber suara lebih dekat.
Masih sedang kebingungan menerka sumber suara, tiba-tiba Yudar sudah melihat neneknya di pintu ruang tengah.
“Sudah, Yudar. Hentikan. Matikan lampu, lalu masuk kamar.” Nyaris berbisik, Nenek Sarmi bilang seperti itu.
Lalu bergegas Yudar menuruti perintah Neneknya.
Yudar menempati kamar depan, sementara Nenek Sarmi di kamar tengah. Kamar Yudar langsung menghadap halaman rumah yang di depannya sudah langsung jalanan desa.
Di kamar, Yudar gak serta merta langsung bisa tertidur, dia sama sekali gak merasakan kantuk. Bukan tanpa sebab, tapi dia masih memikirkan tentang suara tadi. Suara yang sebelumnya sudah pernah Yudar dengar waktu masih kecil, jadi sebenarnya dia sudah tahu sosok yang menimbulkan suara seram itu.
Di atas karus kapuknya, Yudar merasa kalau malam yang sudah sepi jadi semakin sepi. Tiupan angin di luar terdengar menerpa pepohonan.
Desa ini mulai mencekam, entah karena apa.
Semakin larut, sudah sedikit lewat tengah malam, namun Yudar masih saja terus terjaga. Tiba-tiba suara lolongan panjang anjing hutan dari kejauhan memecah kesunyian, menambah seram keadaan.
Angin yang tadinya bertiup pelan, perlahan berubah beranjak jadi agak kencang, suara pepohonan di luar terdengar keras tertiup.
Mulai muncul kecemasan, Yudar sempat berpikir untuk tidur di kamar neneknya saja kalau nanti rasa takutnya gak bisa terkendali lagi.
Ketika suasana semakin mencekam, tetiba Yudar mendengar suara..
Ssssssssss.., sssssssssss..
Kira-kira seperti itu suaranya, berdesis, dan sepertinya suara itu dari luar rumah, di jalan desa di depan.
“Suara apa itu?” Yudar bertanya-tanya dalam hati.
Terus-terusan terdengar, Yudar semakin penasaran.
Gak lama kemudian, akhirnya Yudar memutuskan untuk mencari tahu, berniat mengintip dari jendela ruang tengah.
Perlahan Yudar mulai melangkah, membuka pintu kamar untuk menuju ruang tengah.
Tapi, alangkah terkejutnya Yudar, ketika dia melihat neneknya ada di ruang tengah. Dalam gelap, Nenek Sarmi berdiri di dekat jendela, seperti sedang mengintip ke luar.
“Nek? Nenek lagi ngapain?” Suara pelan Yudar memecah sepi.
Nenek Sarmi langsung menoleh.
“Gak, Nak. Sudah, sekarang kita tidur, yuk. Kamu tidur di kamar nenek saja.” Nenek Sarmi bilang begitu. Sambil berbisik juga, sangat pelan.
Yudar menurut. Kemudian mereka masuk ke kamar tengah.
Pertanyaannya, apa yang sedang Nenek Sarmi lakukan?
Ternyata, sama dengan Yudar, nenek Sarmi juga mendengar suara-suara menyeramkan itu. Bedanya, Nenek Sarmi langsung mencari tahu, dengan mengintip dari jendela ruang tengah.
Ketika sedang mengintip ke luar itulah, akhirnya Nenek Sarmi melihat semuanya.
Di jalanan di depan, beliau melihat beberapa sosok tinggi besar berkelebatan menyusuri jalan, ada yang berjalan pelan, ada yang hanya berdiri diam, ada yang terbang melayang seperti akan menuju suatu tempat. Nenek Sarmi melihat semuanya, semua pemandangan seram di depan rumah, sebelum Yudar menegur.
***
Hai, balik lagi ke gw ya, Brii.
Cukup sekian episode #rhdpk malam ini, insya Allah minggu depan disambung lagi.
Tetap jaga kesehatan, supaya bisa terus merinding bareng.
Sampai jumpa lagi,
Salam,
~Brii~