Prekuel RHDPK #7

Petualangan di desa Sindang Hulu masih berlanjut, cerita seram masih datang berurut. Masih mencekam, masih membuat nafas tertahan. Simak lanjutan ceritanya di sini, Rumah Hantu di Perkebunan Karet (RHDPK) hanya di Briistory.

***

Hembusan angin dingin semilir bertiup, menembus ruang  gelap malam, menyentuh setiap sudut kosong pedesaan. Heningnya seperti bicara dalam diam, menebar ketakutan.

Suara daun-daun kering yang terangkat terbang lalu jatuh kembali, menyentuh dan bergesekan dengan tanah, itu adalah satu dari sedikit suara yang terdengar. Kadang sesekali serangga nekat berbunyi walau sebentar, sebelum (seperti) ada yang memaksanya berhenti lalu diam. Ditambah dengan lolongan panjang anjing hutan di kejauhan, semua bersatu jadi alunan harmoni seram.

Lewat tengah malam, aura kengerian mengungkup desa Sindang Hulu..

Seperti sudah berjalan pada banyak malam sebelumnya, desa ini seperti gak berpenghuni. Seluruh penduduknya memilih untuk berdiam di rumah jika hari sudah mulai beranjak gelap, gak akan nekat ke luar kalau gak sangat terpaksa.

“Yudar, kamu sedang apa?”

Walaupun pelan, tapi suara nenek Sarmi mengagetkan Yudar yang tengah mengintip dari jendela depan.

“Jalanan, Nek.”

“Kenapa dengan jalanan?”

“Sepi sekali, gak ada orang. Seram kelihatannya.”

Percakapan Nenek dan cucunya di dalam rumah itu mungkin bukan satu-satunya interaksi yang masih terjadi di dalam desa, bisa jadi ada keluarga lain sedang melakukan hal yang sama, tertarik untuk memperhatikan apa yang sedang atau akan terjadi di luar. Suasana mencekamnya benar-benar terasa.

“Sudah, Yudar. Ayolah tidur.”

Nenek Sarmi agak memaksa Yudar untuk berhenti mengintip ke luar.

“Iya, Nek.” 

Gak berlama-lama, akhirnya Yudar menuruti perintah Neneknya.

“Kamu ini kok seperti gak kapok-kapok ya, padahal baru beberapa hari yang lalu ketemu dengan hantu jubah hitam. Sudahlah, lebih baik diam di dalam. Tidur, sampai malam selesai.” Di dalam kamar, percakapan kembali terjadi dengan suara pelan, nyaris berbisik nenek Sarmi sekali lagi menegur cucu kesayangannya.

“Iya, Nek, maaf. Aku cuma penasaran, kenapa sih belakangan ini desa kita kalau malam hari suasananya sangat mencekam?” Yudar bilang begitu.

“Nenek juga, sih. Gak mau cerita semuanya, aku kan pingin tahu ada apa sebenarnya.” Yudar melanjutkan.

“Besok pagi, nenek janji akan cerita semuanya. Sekarang tidurlah.” Nenek Sarmi berucap begitu.

“Iya, Nek. Tapi besok janji, ya, akan cerita semuanya.” Yudar mengikuti perintah Neneknya, lalu memaksa diri utuk tidur.

Setelahnya, mereka akhirnya bisa lelap masuk ke alam mimpi, untuk sementara rasa penasaran Yudar masih tertunda, dan kekawatiran nenek Sarmi akan keadaan mencekam di luar terhenti sejenak.

Sementara itu, ternyata di sudut lain desa masih ada pergerakan di luar rumah, ada dua orang sedang terjebak dalam situasi yang mencekam..

***

“Sudah aku bilang berapa kali dari kemarin, bagusnya kita berangkat ke sini besok pagi saja, kan jadi gak sampai tengah malam seperti ini, malah terjebak gak bisa ke mana-mana.”

“Mana aku tahu kalau perjalanan kita tadi akan kesasar di dalam hutan?, Harusnya sebelum gelap sudah sampai sini.”

Terjadi percakapan dua orang laki-laki berumur sekitar 30an tahun di salah satu sudut desa, tepatnya di sebuah banguan kecil berbahan kayu dan bambu yang gelap tanpa penerangan sama sekali. Bangunan tanpa dinding ini biasanya digunakan warga untuk pos jaga malam, tapi beberapa waktu belakangan malah gak dipergunakan lagi karena gak ada warga yang berani beraktivitas malam hari, termasuk jaga malam, jadinya bangunan kecil ini selalu kosong.

Dua orang itu bernama Ramdan dan Ilham, ditugaskan oleh majikannya untuk datang mengunjungi desa Sindang Hulu. Malam ini adalah kedatangan mereka untuk yang kedua kali.

“Makin seram aja ini, Ham.”

“Ya, sebentar sajalah kita istirahat. Janjungku masih deg-degan ini.” Ilham masih berusaha untuk mengatur nafas.

“Gila memang, aku gak mau lagi-lagi datang ke sini malam hari. Mengerikan sekali tadi di hutan itu.”

Begitulah, ternyata beberapa saat sebelumnya mereka baru saja lolos dari situasi seram di dalam hutan, tersasar berputar gak tentu arah sambil mengalami dan melihat pemandangan mengerikan, sampai akhirnya lepas tengah malam mereka baru bisa keluar hutan, lalu kemudian masuk ke Sindang Hulu. Di poskamling ini mereka bermaksud untuk beristirahat sebentar, mengatur nafas.

“Rumah Pak Paiman masih jauh kah?” Tanya Ramdan.

“Masih, di ujung, masih agak jauh kita harus jalan kaki.” Jawab Ilham sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Ya sudah kalo gitu. ayok, kita lanjut, biar cepat sampai.”

Ramdan sudah gak sabar untuk sampai tujuan, sepertinya dia masih sangat ketakutan dan ingin segera berada di tempat aman.

Di desa ini tujuan mereka berdua adalah bertemu Pak Paiman di rumahnya, beliau adalah kepala desa Sindang Hulu. Rencana awalnya, pertemuan akan dilakukan sore hari, tapi karena satu dan lain hal akhirnya Ramdan dan Ilham baru sampai tengah malam.

“Sebentar, kuhabiskan satu batang ini dulu.” Jawab Ilham.

Kepanikan masih terpancar jelas di wajah Ramdan, gestur tubuhnya menunjukkan seperti itu, selalu melihat sekeliling, memperhatikan sekitar, memandang ke sana ke mari.

“Ayolah, Ham. Kan bisa nanti saja di rumah Pak Kades kau merokoknya.”

“Iya, iya, sebentar lagi kita jalan.” Jawab Ilham.

Sementara, suasana di sekitar mulai ada perubahan, ada yang aneh. Yang tadinya masih terdengar ada suara serangga malam, mendadak jadi sunyi. Entah apa penyebabnya, desa ini jadi sangat senyap.

Ilham yang beberapa menit sebelumnya sudah sempat bisa menikmati rokok, detik berikutnya seperti tersadar akan adanya perubahan. Seperti Ramdan, dia lalu langsung memperhatikan sekeliling.

“Ada apa, Ham?” Tanya Ramdan ketika melihat gelagat temannya.

“Ayok, kita jalan lagi.” Ucap Ilham sambil membuang rokok yang sebenarnya masih menyisakan beberapa hisapan lagi.

Ramdan, tanpa ucap langsung mengangkat tas kecilnya lalu melangkahkan kaki mengikuti Ilham, meninggalkan poskamling menuju rumah Pak Kades.

Angin yang tadinya nyaris gak bergerak, perlahan makin terasa desirnya. Dingin mulai menjalar di tubuh dua laki-laki yang tengah berjalan kaki menembus sepinya desa ini. Ilham menarik jaket lusuhnya, menutup bagian dada dengan mengaitkan kancingnya satu persatu, sementara Ramdan yang berjalan di sebelahnya terus menunjukkan mimik kawatir, gesturnya masih ketakutan tapi sama sekali gak mau mengucapkan.

Iya, sebenarnya mereka berdua sudah sama-sama merasakan ada perubahan ini, sepi mencekam, gelap kosong menebar aura seram, dan yang paling mengganggu adalah mereka merasa seperti ada yang sedang memperhatikan.

Langkah kaki terdengar, kecepatannya konstan, energi yang sudah terkuras di hutan tadi membuat Ramdan dan Ilham gak bisa berjalan lebih cepat, apa lagi berlari.

“Semoga Pak Paiman mau menampung kita malam ini tidur di rumahnya ya, kalau gak begitu di mana kita harus tidur nanti,” ucap Ramdan, dengan nafas tersengal.

“Kamu sudah pernah ketemu sendiri, kan. Pak Paiman itu orang baik, pasti bolehlah kita menginap semalam.” Ilham menjawab tanpa sedikit pun menoleh ke arah Ramdan, malah terus memperhatikan sekitar.

Percakapan singkat itu terjadi di tengah perjalanan, yang sepanjang jalan sama sekali gak ada kehidupan, gak ada pergerakan. Setiap bertemu ada rumah penduduk, nyaris semuanya gak ada penerangan, seperti gak berpenghuni.

Sampai akhirnya, Ridwan dan Ilham sampai di satu persimpangan.

“Aku lupa, ini kita harus ke kanan atau ke kiri ya?” tanya Ilham.

“Ke kiri, aku ingat,” jawab Ramdan.

“Yakin, kamu?”

“Hmmm, yakinlah.” Terdengar ada sedikit ragu dari jawaban Ramdan.

Ya sudah, gak ada pilihan lain buat Ilham selain ikut omongan Ramdan, kemudian mereka berbelok ke kiri.

Setelahnya, perjalanan yang dari awal menyusuri kontur yang datar-datar saja, kali ini menemui jalanan yang agak menanjak, gak jadi tambah melelahkan tapi sedikit mengurangi kecapatan.

“Gila, desa ini sepi sekali,” ucap Ramdan, suaranya memecah hening.

Ilham gak menanggapi, dia terus berkonsentrasi melangkahkan kaki.

Seperti itulah, jarang sekali ada percakapan di antara mereka, sekali pun ada hanya sesekali, lebih banyak diam sibuk dengan pikiran masing-masing.

Namun, beberapa menit ke depan akan ada perubahan, ketegangan datang mengambil alih peranan.

“Berhenti, Ham,” Ramdan bilang begitu sambil memegang lengan Ilham untuk memaksanya menghentikan langkah.

“Ada apa lagi, Dan?” Ilham bertanya.

“Kamu dengar, gak? Ada suara.” Tanya Ramdan.

“Gak, aku gak dengar apa-apa, emang ada suara apa sih?”

“Ada, coba dengar lagi.”

Percakapan yang sangat pelan nyaris berbisik itu ujungnya membuat keduanya diam lalu berhenti melangkah. Kemudian Ilham menajamkan pendengaran, coba mencari suara yang dimaksud Ramdan, saat itu Ilham gak mendengar apa-apa.

“Tuh, Ham. Muncul lagi. Dengar gak?” Ramdan berucap lagi.

Ilham belum mendengar apa-apa.

Sampai akhirnya, suara itu terdengar jalas walau sayup..

“Sssssssssssssssssssss..” Seperti itu suaranya, desis panjang seperti suara desir angin.

Ssssssssss….

Terdengar dari kejauhan.

“Suara apa ya itu?” Tanya Ilham ketika akhirnya bisa mendengar.

Ramdan diam saja, tapi pandangannya berkeliling berusaha mencari sumber suara.

“Anginkah?”

“Bukan. Angin gak gitu suaranya,” jawab Ramdan.

Keduanya terus penasaran, berusaha mencari jawaban.

Tiba-tiba..

“Ayo, Ham. Jalan lagi!” Ramdan bilang begitu sambil mendorong Ilham.

“Ada apa, Dan?”

“Udah, jalan aja.”

Kali ini Ramdan yang berjalan di depan, melangkah cepat, Ilham mengikuti dari belakang.

“Itu ada rumah, kita ke situ dulu.” Ramdan bilang begitu, setelah melihat ada bangunan cukup besar berdiri di pinggir jalan, sebelah kiri. Lagi-lagi ilham ikut ke mana Ramdan melangkah, sambil masih kebingungan kenapa tiba-tiba temannya bersikap seperti ini.

Sementara itu suara “Ssssssss…” masih terdengar sesekali.

Hanya berselang beberapa puluh detik kemudian, Ramdan dan Ilham sudah sampai di teras depan bangunan gelap ini, letaknya sekitar 15 meter dari jalan.

“Assalamualaikum.” 

Ilham mengucap salam ketika sudah persis berada di depan pintunya. Ramdan berdiri agak di belakang, sambil kecemasan masih memenuhi pikirannya.

Gak ada jawaban.

Sekali lagi Ilham mengucap salam, “Assalamualaikum.”

Tetap, gak ada jawaban.

“Buka aja pintunya, Ham.”

Tiba-tiba dari belakang Ramdan menggeser tubuh Ilham, lalu tangannya meraih gagang pintu. Dan ternyata, puntu gak terkunci, dengan mudah Ramdan membukanya.

“Ayo, masuk. Cepat..!”

Tanpa pikir panjang, Ilham ikut masuk ke dalam mengikuti Ramdan yang sudah buru-buru masuk terlebih dahulu.

***

Eh jangan lupa, baca juga:

Di dalam, mereka berdiri sejenak memperhatikan sekitar, coba mencari tahu bangunan apa sebenarnya yang mereka masuki ini.

Bangunan ini berbentuk segi empat, cukup besar, berdinding anyaman bambu, tembok tebal hanya menjadi pondasi setinggi kira-kira satu meter. Di kanan dan kiri pintu masuk ada dua jendela dalam keadaan tertutup, pada dinding kanan kiri juga ada beberapa jendela tanpa kaca, nyaris semuanya tertutup, kecuali dua jendela yang ada di sebelah kanan, keduanya terbuka lebar, dari situ bisa terlihat pemandangan luar. Dari jendela yang terbuka inilah Ramdan dan Ilham mendapat sedikit cahaya pantulan dari langit luar, sehingga sedikit banyak bisa melihat dalam remang gelap.

Di bagian depan bangunan yang kosong nyaris tanpa perabot ini ternyata ada ruang kecil tanpa pintu, ukurannya kira-kira dua kali tiga meter. Di kanan kiri ruang kecil ada lemari pajangan yang berisi barisan buku-buku.

Walau baru sebentar di dalam dan memperhatikan sekeliling, tapi Ramdan dan Ilham sudah tahu bagunan apa yang mereka sedang masuki ini.

“Ini musala, Ham.” Ucap Ramdan, berbisik.

Ilham mengangguk, sambil masih terus memperhatikan sekeliling.

Benar yang Ramdan bilang, ternyata bangunan ini adalah musala. Gelapnya suasana di luar tadi membuat Ramdan dan Ilham sampai harus masuk ke dalam dulu untuk tahu bangunan apa sebenarnya ini.

Kemudian, Ilham bergerak ke pintu, lalu duduk di sampingnya, tepat di bawah jendela, membelakangi dinding. Ramdan mengikuti, duduk di sebelah Ilham.

“Sukurlah, pintu musala ini gak dikunci. Kita jadi bisa masuk dan bersembunyi di sini.” Ucap Ramdan.

“Bersembunyi dari apa, sih?” tanya Ilham, puncak dari penasarannya sejak tadi.

“Ada apa, Dan? Kamu melihat apa?”

Ramdan gak langsung menjawab, tapi dia malah seperti berusaha untuk melakukan sesuatu. Membalikkan badan, tangannya lalu meraba kayu kusen yang ada di samping pintu, ternyata dia sedang berusaha membuka jendela.

Berhasil, Ramdan lalu mendorong daun jendela sangat perlahan, gak membukanya lebar-lebar, tapi hanya membuat celah cukup untuk mengintip ke luar.

“Tadi, aku melihat ada sosok yang sedang berdiri di ujung jalan sana, Ham” begitu Ramdan bilang, akhirnya dia bicara.

“Sosok kayak apa? Orang?” tanya Ilham, penasaran.

“Gak tahu, aku gak melihat jelas. Yang pasti tinggi besar, hitam. Dia cuma berdiri diam, kayak lagi memperhatikan kita. Dan yang membuat aku jadi makin takut, ternyata dia kemudian bergerak maju, menuju tempat kita berdiri tadi, makanya aku buru-buru ngajak kamu ke sini.”

Sambil bebisik sangat pelan, Ramdan cerita semuanya.

“Kalau benar perkiraanku, sosok itu akan jalan melintas depan musala ini, di jalan itu.” Lanjut Ramdan sambil menunjuk ke luar, ke jalan.

Ilham yang kelihatannya pemberani, kali ini mulai ada kecemasan di raut wajahnya, mulai ketakutan. Kalau benar apa yang diceritakan Ramdan, maka beberapa belas detik ke depan maka akan ada kejadian seram yang mereka alami, sekali lagi.

***

Masih belum ada perubahan, jalanan desa masih tetap sepi dan kosong, gak ada mahluk yang melintas, belum ada. Heningnya cukup menggambarkan keseraman, kosongnya seperti berbicara dalam senyap.

Dua lelaki yang sedang mengalami fase menakutkan dalam hidupnya ini hanya diam sambil terus memperhatikan situasi di luar. Gak ada percakapan.

Sssssssssssshhhhhh….

Akhirnya suara itu muncul, memecah permukaan sepi.

Degup jantung Ramdan dan Ilham mulai berpacu, belum kelihatan apa-apa tapi suara itu cukup membuat bulu kuduk berdiri.

Sssssssssssshhhhhh….

Muncul lagi, kali ini lebih jelas, terdengar berasal dari arah kanan jalan, tapi sepertinya masih jauh. Ramdan dan Ilham penasaran, “Suara apa sih itu?” mereka bertanya-tanya dalam hati.

Sssssssssssshhhhhh…

Kedengaran lagi, kali ini lebih jelas dari sebelumnya.

Ramdan dan Ilham menajamkan mata dan telinga, berusaha mencari sang pemilik suara.

Ternyata gak lama, ketakutan mereka sangat beralasan, rasa cemas punya sebab, beberapa detik kemudian mulai ada pergerakan di sisi jalan sebelah kanan.

***

“Ham..”

“Iya..”

Ramdan coba memberitahu Ilham, kalau dia melihat ada yang bergerak dari arah kanan.

Ada sosok yang masih terlihat berbentuk seperti bayangan hitam, berjalan pelan menembus remang gelap, belum kelihatan jelas karena masih tertutup pepohonan. 

Sosok misterius ini terus bergerak sampai akhirnya bisa benar-benar terlihat jelas karena gak ada lagi yang menghalangi pandangan Ramdan dan Ilham.

Seram, sungguh seram pemandangan yang sedang terhampar di depan musala ini.

Ternyata sosok seram ini bergerak berjalan seperti melayang, gerakannya sangat halus. Bentuknya tinggi besar, tubuhnya berbalut (Terlihat seperti) jubah hitam panjang sampai menutup kaki, jubahnya bergerak-gerak tertiup angin.

Sementara itu, desis panjang terus terdengar jelas. Bertambah seram ketika mulai muncul lolongan panjang anjing hutan dari kejauhan.

Walaupun takut, namun Ramdan dan Ilham gak melepaskan pandangan, terus menatap sosok seram itu. Penasaran, berbalut ketakutan.

Namun, tiba-tiba, “Kriyeeeeeeet”

Ada suara yang terdengar seperti pintu terbuka. Ramdan dan Ilham sontak langsung berpandangan, bertanya-tanya, “Pintu mana yang terbuka?”

Kriyeeeeeeet..

Terdengar sekali lagi, kali ini lebih panjang dan jelas suaranya. Tentu saja Ramdan dan Ilham sontak langsung melihat ke asal suara. Iya, akhirnya mereka tahu suara itu berasal dari mana, akhirnya tahu pintu mana yang terbuka.

Ternyata, di sebelah kanan musala ada bangunan kecil yang menempel dinding, kelihatan seperti ruangan kecil, dan tampaknya biasa dipergunakan sebagai gudang, kira-kira seperti itu. Nah, pintu gudang inilah yang baru saja menimbulkan suara, suara yang timbul karena ternyata pintu itu ternyata terbuka dengan sendirinya. Seram? Tentu saja.

Sejenak Ramdan dan Ilham teralihkan dari pemandangan di depan musala, mereka sekarang lebih memperhatikan pintu gudang. Suara terbuka masih terdengar, karena memang kelihatan belum terbuka lebar. Mencekam..

Ramdan dam Ilham menahan nafas, memperhatikan dalam ketakutan, ini lebih mencekam karena jarak gudang sangat dekat, hanya beberapa meter saja.

Akhirnya berhenti, pintu gudang gak bergerak lagi, sudah dalam keadaan terbuka lebar. Ramdan dan Ilham jadi bisa melihat ke dalam gudang, walau hanya gelap yang kelihatan karena sama sekali gak ada pencahayaan.

Setelah itu, sejenak suasana kembali hening, gak ada suara sama sekali..

Sepi.

Tapi hanya sebentar, kira-kira 5 menit kemudian lagi-lagi muncul suara mencurigakan.

Suara mencurigakan itu berasal dari dalam gudang, terdengar jelas karena pintunya dalam keadaan terbuka. Suaranya seperti ada pergeseran satu benda di atas lantai, seperti ada barang yang bergeser bergerak. 

Lagi-lagi Ramdan dan Ilham tercekat diam, ketakutan, sambil terus memperhatikan.

Tapi, suara itu hanya muncul sebentar saja, setelah itu menghilang, meninggalkan sepi dan hening di belakang.

Melihat gak ada pergerakan lagi di gudang, perlahan Ramdan kembali mengalihkan pandangannya ke depan musala. Betapa tercengangnya dia, karena sosok seram yang dia lihat sebelumnya ternyata masih ada, dan gak sendirian!, Di jalan depan, sosok seram itu sudah menjadi ada tiga, dengan bentuk penampakan yang nyaris sama.

Dalam remang gelap, ada tiga sosok seram sedang berdiri diam menghadap musala.

Tapi tiba-tiba..

“Ramdan..”

Ilham bersuara pelan sambil menarik tangan Ramdan, seperti memberi kode menyuruh untuk melihat ke gudang. Ramdan menangkap maksud Ilham, lalu sekali lagi mengalihkan pandangan jadi ke pintu gudang, mencari tahu apa yang Ilham mau tunjukkan.

Ilham diam, tubuhnya gemetar ketakutan. Begitu juga Ramdan, gak berani bersuara sekali pun untuk bernafas.

Mereka terpana, membisu, tubuh kaku, ketika melihat ada yang sedang bergerak keluar dari gudang..

Iya, ada benda yang sedang berjalan keluar dari dalam gudang.

Awalnya hanya kelihatan ada dua batang galah sejajar muncul dari pintu, namun lama kelamaan di belakang dua galah ini ada yang mengikuti, kelihatan seperti tungkup setengah lingkaran yang memanjang.

Benda terus bergerak pelan, perlahan..

Sampai akhirnya, Ramdan dan Ilham bisa melihat dan menebak pasti apa yang sedang keluar melayang dari dalam gudang.

Iya, benda ini ternyata bergerak melayang.

Setelah sebagian besar bentuknya sudah kelihatan, barulah dapat dipastikan kalau benda itu ternyata  keranda mayat.

Ada keranda jenazah terbang perlahan keluar dari gudang..

***

Selanjutnya, keranda itu terus melayang, meninggalkan gudang menuju ke depan musala. Mata Ramdan dan Ilham terus mengikuti pergerakannya.

Terus bergerak, ternyata benar, keranda ini menuju halaman depan lalu selanjutnya ke jalan, di mana sudah ada menunggu tiga sosok seram yang masih saja berdiri diam.

Benar, keranda memang akhirnya sampai persis di depan tiga mahluk seram itu. Semuanya diam, hening, suasana makin mencekam. Pemandangan yang sungguh menyeramkan.

Ramdan dan Ilham masih diam membisu, sambil terus memperhatikan.

“Aku gak kuat, Ham.” 

Akhirnya Ramdan bicara, dengan sangat pelan. Jatuh terduduk, tubuh Ramdan gemetar, keringat dingin bercucuran, nyaris pingsan.

Ilham gak menjawab, tapi tangannya meraih daun jendela lalu menariknya, menutup jendela, setelahnya mereka gak bisa lagi melihat pemandangan seram itu.

Kembali ke posisi semula, Ramdan dan Ilham duduk bersandar membelakangi dinding, tetap diam gak bersuara. Membiarkan mahluk-mahluk seram di luar beraktivitas, sambil berharap dan berdoa supaya pergerakan mereka terus di luar musala.

Di sisa malam, mereka tetap dalam lingkup kecemasan dan ketakutan, walaupun gak melihat secara langsung namun suara-suara menyeramkan di luar tetap bisa mereka dengar, masih sangat menakutkan.

Sampai akhirnya, ketika sudah semakin mendekat ke waktu subuh “kegiatan” pergerakan di luar berhenti, terdengar dari suaranya yang gak terdengar lagi, sepi.

Lelah karena perjalanan panjang dan peristiwa yang baru saja mereka alami, Ramdan dan Ilham akhirnya tertidur.

***

“Bang, bang, bangun, bang. Sudah subuh, maaf ya.”

Ramdan dan Ilham terbangun karena ada mendengar suara seperti itu.

Ternyata, musala sudah dalam keadaan terang, dan sudah ada belasan warga berada di dalam.

“Abang berdua ini dari mana mau ke mana?” tanya salah satu warga.

“Kami mau ke rumah Pak Kades. Tapi datang kemalaman.” Jawab Ilham.

Setelahnya, mereka mulai sedikit menceritakan tentang peristiwa yang baru saja dialami.

Singkatnya, setelah selesai salat subuh, Ilham penasaran tentang keranda mayat yang ada di dalam gudang, lalu dia minta ijin untuk membuka pintunya untuk melihat ke dalam.

Apa yang Ilham lihat? Ternyata keranda yang sebelumnya melayang keluar, sudah berada di dalam gudang lagi, sudah kembali ke tempat asalnya.

***

Gimana lanjutan kisahnya?, kita sambung minggu depan ya. Yang pasti bakal tambah seru dan mencekam.

Sampai di sini dulu cerita kali ini.

Tetap jaga hati, perasaan, dan kesehatan, supaya bisa terus merinding bareng.

Salam,

~Brii~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *