Panti Asuhan yang terletak di tengah-tengah hutan kecil, banyak cerita dan peristiwa seram di dalamnya. Dalam rentang waktu pertengahan 1990-an, semuanya akan tertuang di series “Panti Asuhan” ini.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Seperti di tengah-tengah hutan, walaupun terbilang kecil tetapi hutan ini cukup banyak menampung pepohonan, berbagai jenis pohon ada, dari yang kecil sampai yang menjulang tinggi, dari yang jarang sampai yang lebat dedaunan, rumah panti asuhan berdiri hampir di tengah hutan kecil ini. makanya, sepanas apapun kondisi cuaca, lingkungan panti tetap terasa relatif sejuk dan segar udaranya.
Akan makin terasa suasana hutan di waktu pagi, udara sejuk terbilang dingin di mana embun tebal menghias permukaan lingkungan panti dan sekitarnya, sampai sang embun menghilang terkikis oleh hangatnya sinar mentari. Hutan kecil ini seolah menjadi taman bermain yang luas bagi para penghuni panti, dan juga anak-anak lain yang berasal dari komplek perumahan yang letaknya tidak jauh dari sini. Oh iya, ada sungai kecil juga yang mengalir di sisi sebelah selatan hutan, sungai yang tidak terlalu besar, namun airnya cukup banyak, terbilang deras pula ketika datang musim penghujan.
Bukannya bangunan besar dan mewah, rumah panti hanya rumah besar biasa, bertingkat, namun memiliki halaman yang terbilang luas, dibatasi dengan pagar tembok sederhana yang sudah terlihat lusuh dan tua.
Di dekat panti juga melintas jalan kecil yang menghubungkan satu komplek perumahan dengan jalan raya besar yang letaknya kira-kira agak jauh dari panti, jalan kecil ini jarang dilalui oleh penduduk sekitar walaupun bisa dibilang sebagai jalan pintas kalau mau menuju ke jalan besar, dan lebih banyak dilalui oleh pejalan kaki atau pesepeda, orang-orang lebih memilih jalan memutar yang lebih jauh jaraknya kalau harus ke jalan besar tadi.
Di hutan kecil bangunan yang berdiri hanya rumah panti asuhan ini, tidak ada bangunan lain. Bangunan terdekat hanya komplek perumahan, gedung Sekolah Dasar, dan Pabrik Besi Baja, ketiganya berjarak cukup jauh dari panti.
Tapi, Panti Asuhan ini tidak bisa dibilang terpencil juga karena letaknya tidak jauh dari keramaian kota, bisa dibilang sepinya lingkungan panti karena letaknya memang berada di hutan kecil yang sama sekali tidak ada bangunan lain di dalamnya.
“Bu, apa sih bedanya panti ini waktu dulu waktu Ibu baru datang dengan panti yang sekarang?” tanya Eva kepada Bu Bertha, keduanya sedang duduk di kursi teras depan panti pada suatu sore yang cerah, memperhatikan anak-anak yang sedang bermain di halaman.
“Hmmm, kalau bangunan, gak ada banyak berubah, paling pagar aja. Rumah ini memang sejak dibangun dulu sudah begini. Yang berubah adalah jalan raya di depan itu, dulunya jalan kecil yang hanya bisa dilewati satu mobil aja,” jawab Bu Bertha, setelah ada jeda agak lama.
“Pepohonan ini dari dulu juga?” tanya Eva lagi, pepohonan yang dimaksud adalah hutan kecil yang mengelilingi panti.
“Oh udah ada, malah dulu lebih lebat pepohonannya dan lebih luas juga. Gak lama setelah Ibu datang, barulah dibangun komplek perumahan KS itu, gak lama lagi di bangun juga SD Satu itu,” Bu Bertha menjawab agak panjang.
“Jadi, yang berdiri duluan adalah bangunan panti ini ya Bu,”
“Iya, dan yang Ibu tau, bangunan ini awalnya bukan Panti Asuhan, tapi ada kegunaan lain, Ibu gak tau pasti dulunya untuk apa. Yang Ibu tau, bangunan ini sudah berdiri jauh sebelum Ibu datang,”
“Oh gitu, jadi belum jelas ya dulunya bangunan panti ini apa,”
“Iya, Ibu gak tau,”
Percakapan santai ini sebenarnya ada Yani juga, tapi Yani lebih banyak diam karena Yani kurang lebih sudah tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Eva.
Sudah sebulan lebih Eva tinggal di Panti, tapi belum cukup baginya untuk mengenal panti dan isinya secara keseluruhan, makanya dia banyak bertanya kalau ada kesempatan. Sore ini yang memang cukup santai jadinya percakapan bisa berlangsung dengan berisi banyak pertanyaan.
Sore berangsur gelap seiring tenggelamnya mentari di sisi Barat, satu persatu penghuni panti berhenti beraktivitas di luar, kemudian masuk ke dalam panti.
***
Baca juga:
Selepas maghrib, anak yang beragama Islam ada kegiatan mengaji, berikutnya belajar pelajaran sekolah sambil menunggu waktu Isya datang, setelah itu makan malam bersama. Seperti biasa juga, selepas makan malam para penghuni melanjutkan kegiatan belajarnya, atau berbincang membahas banyak hal dengan sesama penghuni atau dengan Ibu-ibu pembina.
“Kak, makanan satu piring lebih itu ada lagi, disiapkan lagi sama Bu Dewi,” Sambil nyaris berbisik Eva bilang begitu ke Yani yang duduk di sebelahnya.
“Iya, kan udah lama nggak ya,” ucap Yani.
“Iya Kak, aku menghitungnya sih udah tiga mingguan gak ada,”
Seperti yang Eva bilang, piring makanan yang masih berisi nasi dan lauk pauk utuh beserta segelas air putih ada lagi di meja makan setelah seluruh penghuni sudah selesai makan semua. Sepiring makanan yang bagi Eva masih banyak pertanyaan mengenainya. Setelah sekian minggu berlalu, piring itu ada lagi.
Melihat itu, gejolak rasa penasaran Eva membuncah lagi.
“Kak, nanti aku aja yang cuci piringnya deh,” kata Eva.
“Ya jangan, gak bisa, kan malam ini bukan giliran kamu, tapi Andi dan Iwan,” Yani bilang begitu.
“Ya nanti aku bilang ke mereka, kalau aku aja yang cuci piring,”
“Udah, jangan, mereka aja, kamu kan nanti ada jadwalnya,”
“Hmmm, yaudah deh,” Eva akhirnya menyerah.
Eva masih penasaran, dengan sosok yang menyantap satu porsi makanan itu.
Tidak terasa, jarum pendek jam dinding sudah menunjuk ke angka sembilan, sudah waktunya untuk tidur. Satu persatu, mereka masuk ke kamar masing-masing setelah membereskan semua yang digunakan di ruang tengah.
Beberapa menit kemudian, ruang tengah sudah kosong dan gelap, Yani dan Eva juga sudah berada di dalam kamar mereka di lantai atas.
Eva sengaja tidak banyak bicara, seperlunya saja menanggapi kalau Yani mengajak berbincang atau melontarkan pertanyaan, selebihnya diam, kenapa? Karena Eva menunggu sesuatu.
Eva menunggu “Kegiatan” di lantai bawah, dia menunggu sampai Andi dan Iwan kedengaran mencuci piring, mencuci piring terakhir.
“Kok Andi Iwan belum kedengaran cuci piring ya, Kak?” akhirnya Eva bertanya, karena malam sudah makin larut.
“Ah paling sebentar lagi,” jawab Yani.
Eva kembali diam.
Mereka berdua sudah merebahkan tubuh di tempat tidur, menunggu kantuk datang untuk terlelap, tapi hanya Yani saja, karena Eva masih penasaran dengan cuci piring di bawah.
Sudah hampir setengah sebelas, ketika akhirnya Eva mendengar ada suara gemerinting peralatan makan yang sedang dicuci.
“Ah akhirnya,” ucap Eva dalam hati.
Sempat memperhatikan Yani sebentar, yang ternyata sudah lelap tertidur, Eva memutuskan untuk keluar menuju dapur, sangat penasaran, Eva ingin melihat apakah Andi dam Iwan memang sedang mencuci piring.
Dengan langkah sangat hati-hati karena tidak mau yani jadi terbangun, Eva akhirnya benar-benar keluar kamar menuju dapur.
Menuruni tangga. Sementara suara kegiatan cuci piring yang dilakukan Iwan dan Andi masih terus kedengaran.
Beberapa menit kemudian Eva sampai juga di dapur.
“Eh, Kak Eva, belum tidur, Kak?” tanya Andi sambil mengelap piring yang ada di tangannya, sementara Iwan hanya berdiri memperhatikan.
“Kalian malam sekali cuci piring, bukannya tadi udah ya cuci piringnya?” tanya Eva, pertanyaan memancing.
“Oh, iya kak, ini ternyata ada satu piring yang ketinggalan, hehe,” jawab Andi lagi.
Eva diam, tidak ada pertanyaan lanjutan, namun memperhatikan gelagat dari Andi dan Iwan yang Eva merasa kalau mereka berdua sedang menutupi sesuatu.
Sebenarnya Eva masih sangat penasaran, terlebih setelah dia pernah mengalami kejadian aneh tentang piring terakhir ini, tapi melihat Andi dan Iwan seperti itu Eva memilih untuk menahan diri.
“Udah selesai, Kak, hehehe,”
Andi bilang begitu, ketika sudah meletakkan piring sendok gelas bersih di tempatnya.
“Ya sudah, yuk tidur,udah malam,” kata Eva.
Ketiganya lalu berjalan menuju kamar masing-masing untuk tidur. Sementara Eva, di kepalanya masih berkecamuk banyak pertanyaan.
Selesaikah malam itu? belum..
***
“Ah kok aku jadi gak ngantuk sama sekali ya,”
Kamar sudah nyaris gelap total, malam sudah mendekat ke dini hari, nyaris jam 12, tapi Eva masih belum bisa tidur.
Karena letaknya berada di tengah-tengah hutan kecil yang banyak pepohonan, jadinya kalau ada angin berhembus walaupun kecil akan menimbulkan suara dedaunan yang bergerak tertiup. Malam ini seperti itu, di luar angin berhembus, walaupun tidak besar tetapi cukup untuk menggerakkan dahan pohon dan dedauanannya. Kamar Eva yang letaknya di lantai dua, membuat hembusan angin di luar jadi terasa karena hembusannya masuk juga melalui sela-sela jendela, sejuk dan dinginnya terasa di kulit.
“Keriuhan” ini makin membuat Eva susah untuk terlelap. Masih tergolong anak baru di lingkungan dan tempat yang baru, Eva masih menjalani masa adaptasi di panti ini, masih banyak hal yang menurutnya asing dan menimbulkan banyak pertanyaan. Singkatnya, untuk tidur nyenyak pun Eva masih kesulitan.
Suara dedaunan dan ranting yang beradu tertiup angin terdengar jelas, padahal jendela sudah tertutup rapat.
Tidak terasa pula kalau sudah mendekati jam satu lewat tengah malam, saat ini pula Eva merasa kalau angin yang sejak tadi bertiup berangsur jadi berhenti, riuh suara pepohonan juga ikut hilang, berganti dengan keheningan.
Mata masih juga belum bisa terpejam, Eva masih belum merasakan kantuk.
Seharusnya, hening yang terjadi ini membuat Eva lebih mudah untuk tidur, tapi ternyata tidak. Suara-suara tanpa bunyi ini malah membuat tidak merasakan kantuk sama sekali.
Jam satu lewat sedikit, ketika akhirnya Eva mendengar sesuatu.
Ada suara di luar kamar, tapi masih di dalam panti.
Suaranya samar tapi masih kedengaran. Mendengar ini ingin sekali rasanya Eva membangunkan Yani, tapi niatnya diurungkan, tidak tega Eva membangunkan Yani yang sudah sangat lelap tertidur.
Suara apa yang Eva dengar?
Eva mendengar ada suara seperti ada yang sedang menyapu lantai, di ruang tengah lantai dua persis di depan kamarnya.
“Sreeeek, sreeek, sreekk..” kira-kira seperti itu bunyinya.
“Siapa yang nyapu tengah malem begini?” tanya Eva dalam hati.
Suara gesekan sapu ijuk dengan permukaan lantai itu konstan terdengar, terus kedengaran, kadang menjauh kadang mendekat, terus menyapu berkeliling ke setiap penjuru ruangan, kedengarannya seperti itu.
Mendengar ini tentu saja Eva makin tidak bisa tidur, pikirannya tidak karuan.
Ingin rasanya Eva berdiri mendekat ke pintu dan membukanya untuk melihat siapa gerangan yang sedang menyapu itu, rasa penasaran memenuhi isi kepala. Tapi, Eva tidak berani, ada ketakutan yang tentu saja timbul, mengingat ini masih tengah malam.
“Sreeeek, sreeek, sreekk..”
Masih terus kedengaran, Eva terus memperhatikan pintu, fokus Eva makin menjadi-jadi ketika dari suaranya Eva merasa kalau yang sedang menyapu sedang persis berada di depan pintu kamar.
“Sebentar lagi, bentar lagi bersih..”
Tiba-tiba Eva mendengar ada orang bicara, suara perempuan!
Siapa itu? Eva tidak tahu..
Eva sama sekali tidak mengenali suara itu, Eva yakin itu bukan Bu Berta, Mbak Eka, atau juga Bu Dewi, kenapa begitu yakin? Karena suara yang Eva dengar adalah suara nene-nenek, jelas seperti itu.
“Sreeeek, sreeek, sreekk..” sementara suara gesekan sapu dengan lantai masih terus terdengar.
Eva ketakutan, sama sekali tidak berani menggerakkan tubuhnya, tidak mau menimbulkan suara, Eva berharap semoga Nenek itu tetap berkegiatan di ruang tengah.
“Hehehe..”
Kali ini lebih seram lagi, nenek itu kedengaran tertawa, tertawa yang terdengar seperti sedang berada persis di depan pintu, makanya kedengaran jelas.
Suara tawa ringkih nenek-nenek.
Eva makin ketakutan, menarik selimut sampai sebatas leher, namun mata masih terus memperhatikan pintu.
Suara sapuan pada lantai terus terdengar menjauh mendekat, diselingin sesekali tawa cekikikan kecil sang nenek.
Siapa Nenek itu? siapa dia? Eva tidak tahu.
Sampai akhirnya, semuanya berhenti, tidak ada lagi suara menyapu dan tawa, hening kembali terjadi.
Heningnya cukup lama, beberapa menit mungkin, menit yang terasa sangat lama bagi Eva.
Selesai? Belum..
Kemudian ada suara lagi, kali ini membuat suasana makin mencekam.
“Tok, tok, tok..”
Ketukan pintu!
Eva mendengarnya bukan ketukan menggunakan tangan, tapi ketukan menggunakan gagang sapu yang terbuat dari kayu, suara yang khas.
Hanya tiga kali, namun setelahnya ada suara lagi yang membuat Eva nyaris menangis.
“Sudah selesai, Nenek pulang dulu..”
Dari balik pintu, sang Nenek bilang begitu!
Itu yang membuat Eva ketakutan teramat sangat.
Tentu saja hal ini membuat Eva terjaga, makin susah untuk tidur.
Selesai, setelah itu hanya keheningan yang Eva rasakan, tapi untuk tidur tetap tidak bisa, sampai subuh menjelang Eva baru bisa tidur walau sebentar.
***
Hai, balik lagi ke gw ya, Brii.
Oh iya, series Panti Asuhan ini terinspirasi dari kisah nyata, tempat dan pelakunya masih ada, semua kisah Yani, Eva, dan teman-teman akan tertulis di sini nanti.
Sekian cerita malam ini, tetap sehat supaya bisa terus merinding bareng.
Salam,
~Brii~