Gambaran kehidupan penghuni Panti Asuhan di kota kecil di Banten, pergulatan dalam menjalani hidup yang harus juga berjuang menghadapi banyak keanehan dan kejanggalan menjurus seram yang terjadi di dalam Panti.
Simak series terbarunya Briistory, Panti Asuhan..
***
~Pada suatu malam, di pertengahan tahun 1995~
Bu Bertha selalu paling awal duduk di meja makan, kursi paling ujung di deretan sebelah kanan. Malam itu juga sama, beliau sudah duduk dengan senyum khasnya. Perempuan berdarah Batak dengan kerut tegas di wajah, rambut panjang yang sudah beruban tergerai sampai bahu, seperti biasa dia berpakaian terusan panjang bermotif bunga.
“Ayooo anak-anak, sudah waktunya makan, sudah siap semua ini,” Bu Bertha berteriak begitu, tiba-tiba.
Sudah jam tujuh malam, tepat, tidak kurang tidak lebih, waktunya makan malam. Banyak kursi mengelilingi meja panjang berbentuk oval, kursi yang biasanya tidak terlalu lama untuk habis dipenuhi oleh para penghuni panti setelah ada aba-aba teriakan dari Ibu Bertha. Dan benar, setelah itu para penghuni langsung meninggalkan semua kegiatannya, yang rata-rata sedang belajar dan mengaji, bergegas menuju meja makan.
“Yuk, udahan dulu, udah waktunya makan,” Yani bilang begitu ke Adi yang sedang duduk di hadapannya sambil memegang buku.
“Ayok, Kak,” jawab Adi sumringah, wajahnya menyiratkan kalau dia sejak tadi memang sudah menunggu jam makan malam.
Yani memang sedang membantu Adi belajar, adik pantinya, belajar bahasa inggris pada malam itu.
Setelah membereskan buku-buku yang baru digunakan, keduanya bergandengan tangan berjalan menuju meja makan yang letaknya di hampir paling belakang gedung panti asuhan ini.
Dalam satu atau dua menit saja, kursi-kursi sudah dipenuhi oleh anak-anak penghuni dan beberapa pengurus panti. Hidangan makan malam sudah tersedia di atas piring di hadapan, dengan porsi yang sedikit berbeda berbeda untuk masing-masing anak tapi dengan menu yang sama.
“Sudah kumpul semua ya?” Bu Bertha bertanya setelang menghitung jumlah anak yang sudah duduk di sekeliling meja makan.
“Ridwan, mulai pimpin doa,” lanjut Bu Bertha.
Ridwan lalu mulai memimpin doa sebelum makan.
Aamiin, doa selesai.
Baca juga:
Setelah itu mereka semua mulai melahap hidangan makan malam, bersemangat sekali.
Panti asuhan ini memiliki 20 anak dengan rentang umur antara delapan sampai dengan 18 tahun, yang paling muda adalah Adi, sedangkan yang paling besar Ridwan, yang sebentar lagi akan lulus Sekolah Menengah Atas. Jumlah penghuni panti kadang berubah, terbilang sering malah perubahannya dengan berbagai macam alasan dan kondisinya masing masing, yang pasti kali ini ada 20 anak ditambah tiga orang pengurus tetap.
Masing-masing anak bersekolah di sekolah umum sesuai dengan usia dan tingkat sekolah, jadi dalam hal pendidikan semuanya terjamin dengan baik. Yani, sekarang usianya 15 tahun, kelas tiga SMP, Yani tinggal di Panti Asuhan ini sejak masih bayi, sudah termasuk penghuni senior.
Kegiatan makan malam ini termasuk kegiatan yang rutin dilakukan setiap harinya, anak-anak wajib makan bersama, di meja makan besar ini semuanya berkumpul makan sambil berbincang ringan tentang apa saja, salah satu acara yang menurut sebagian besar penghuni sangat menyenangkan, disamping memang acara makan bersama, juga merupakan waktu untuk berakrab-akrab dengan penghuni lain.
Singkatnya, sekitar jam delapan kurang 10 menit, makan malam selesai, kali ini yani dan Eva yang bertugas mencuci piring. Ada 20 anak, di meja makan ada 21 piring makanan. Iya, benar, ada 21 porsi piring makan untuk 20 anak, kenapa lebih? Apa untuk anak yang makannya nambah? Bukan, bukan untuk itu. Tidak setiap hari, tapi dalam waktu tertentu, Bu Dewi yang bertugas menyiapkan makanan memang melebihkan satu piring di meja makan, dalam waktu tertentu.
“Udah, biarin aja di situ, gak usah diangkat,” Kata Yani, ketika melihat Eva hendak mengangkat satu piring yang makanan di atasnya masih utuh tidak tersentuh.
“Kenapa, Kak? Bukannya harus dicuci juga?” tanya Eva penasaran.
“Iya, dicucinya nanti aja, agak maleman, sekarang biarin aja di situ,” jawab Yani lagi.
Eva memang anak baru, dia baru seminggu tinggal di panti ini, dan ini adalah tugas pertamanya mencuci piring setelah makan.
Menuruti omongan Yani, Eva membiarkan piring dengan makanan utuh itu di tempatnya, letaknya di meja paling ujung, kemudian dia membereskan alat makan kotor yang lain untuk membawanya ke dapur ke tempat cuci piring.
Kemudian mereka Yani dan Eva sibuk mencuci peralatan makan di belakang.
“Kak, maaf, itu tadi makanan buat siapa? Aku lihat semua anak sudah makan, bu Bertha, mba Eka, dan Bu Dewi juga makan, semua udah makan, trus itu makanan buat siapa? Tamu ya?” sambil mencuci piring, Eva bertanya kepada Yani, masih penasaran dengan piring dengan makanan utuh tadi.
“Hmmm, nanti ada yang makan, tenang aja,” jawab Yani sambil tersenyum.
“Iya, Kak. Siapa?”
“Penghuni sini juga, nanti kamu juga tahu,” lagi-lagi Yani menjawab sambil tersenyum.
“Ooohh, penghuni sini juga, datangnya malem ya?” tanya Eva lagi sambil tangannya terus sibuk mencuci piring.
“Iya,” jawab Yani pendek.
Selanjutnya mereka berbincang membicarakan hal lainnya, tawa ringan mengiringi kegiatan mereka.
Sekitar jam setengah sembilan, mereka selesai, kemudian melangkah berjalan meninggalkan dapur hendak menuju ruang depan di mana biasanya masih banyak anak yang berkumpul sebelum masuk ke kamar masing-masing. Dari dapur, mereka melewati dulu ruang makan, di sana meja makan sudah rapih dan bersih, tidak ada lagi piring dan peralatan makan lainnya. Tapi di sudut meja paling ujung masih ada piring yang tadi, piring yang di atasnya masih lengkap nasi dan lauk pauknya, ditambah dengan segelas air putih yang masih utuh juga.
“Udah, biarin aja,” ucap Yani yang melihat Eva masih terus memperhatikan piring itu.
Sesampainya di ruang tengah, Yani dan Eva masih melihat beberapa anak yang berkumpul berbincang sambil menonton televisi atau sekadar bersantai, ada juga yang sedang membaca buku atau belajar pelajaran sekolah. Yani dan Eva ikut bergabung, terlihat juga Bu Bertha dan Mba Eka mendampingi mereka semua.
“Gimana sekolah kamu Eva?” tanya Bu Bertha ketika melihat Eva sudah duduk di dekatnya.
Selain memang penghuni baru, Eva juga baru bersekolah di SMP tempat anak panti lainnya yang seusia bersekolah.
“Emmm, iya Bu, lancar kok, aku senang, semuanya baik,” jawab Eva.
Kemudian percakapan berlanjut membahas hal lain.
Sementara Yani kembali mendampingi Adi yang sedang asik membaca buku.
Kegiatan santai ini juga selalu dilakukan setelah selesai makan malam, biasanya ketika sudah jam sembilan satu persatu anak masuk ke kamarnya masing-masing, bersiap untuk tidur.
Panti asuhan ini memiliki bangunan utama yang cukup besar, bertingkat dua pula, bangunan yang usianya terbilang tua, sudah berdiri sejak 1970an. Di dalamnya ada sembilan kamar tidur, empat kamar di lantai bawah, sisanya di atas. Setiap kamar diisi oleh dua atau tiga anak. Panti ini juga memiliki empat kamar mandi, dua di lantai atas, dua di lantai bawah. Di luar, panti memiliki halaman luas yang dipenuhi dengan pepohonan rindang nan asri. Pokoknya sangat nyaman bagi para penghuninya.
“Udah jam sembilan, ayok masuk kamar masing-masing,”
Bu Bertha bilang begitu ketika memang jarum pendek jam dinding sudah menunjuk ke angka sembilan. Perlahan setiap anak mulai membereskan buku-buku yang dibaca kemudian bersiap untuk tidur.
Anak-anak perempuan kamarnya di lantai atas ,termasuk Yani dan Eva, sedangkan sedangkan anak laki-laki di kamar bawah, termasuk Adi, dekat dengan kamar Bu Bertha dan Mba Eka. Beda dengan Bu Dewi, kalau sudah selesai acara makan malam, beliau akan pulang ke rumahnya, tidak menginap di panti.
Termasuk Bu Bertha dan Mba Eka, semuanya akhirnya pergi masuk ke kamar masing-masing, meninggalkan ruang tengah jadi kosong.
Yani dan Eva kemudian berjalan menuju kamarnya di lantai atas, tangga menuju lantai atas letaknya di ruang makan. Nah, ketika sudah mau naik tangga di ruang makan ini, Eva masih saja memperhatikan piring tadi, piring yang nasi dan lauk pauknya masih utuh.
“Kak, sayang amat ya makanan itu, apa nanti dibuang?” tanya Eva ketika sedang berjalan menaiki tangga.
“Gak akan dibuang, sebentar lagi juga ada yang makan kok, udah biarin aja,” jawab Yani.
Masih bingung, tapi Eva memilih untuk diam.
“Nanti, kita yang cuci piringnya kalo udah dimakan,” kata Yani kepada Eva beberapa saat sebelum masuk kamar.
“Ah cuma satu piring doang, aku aja bisa kak, ngapain berdua-duaan, hehe,” jawab Eva.
“Ya sudah kalau kamu berani turun sendiri nanti,” ucap Yani sambil tersenyum.
Di dalam kamar, mereka langsung sibuk menyiapkan seragam sekolah yang akan dipakai esok hari dan buku-buku yang akan dibawa, sambil berbincang diselingi dengan canda tawa ringan. Sebelum tidur, memang hampir selalu begitu.
Sampai kemudian ada sesuatu yang terjadi.
Di tengah keasikan bercengkrama tiba-tiba mereka diam nyaris bersamaan, lalu saling berpandangan berpandangan.
“Kakak denger juga?” tanya Eva.
“Iya,” jawab Yani sambil tersenyum.
“Siapa itu ya kak? Siapa yang masih belum masuk kamar?”
Yani tidak menjawab pertanyaan Eva, dia hanya tersenyum.
“Kayaknya tadi aku lihat semua udah masuk kamar, udah jam sepuluh lewat kan ini,” lanjut Eva.
Yani tetap tidak manjawab,
Ada apa sebenarnya?, ternyata tadi, nyaris bersamaan, Yani dan Eva mendengar ada suara anak laki-laki tertawa terkekeh di lantai bawah, kamar Yani dan Eva memang dekat dengan tangga, jadinya sering kali suara-suara dari lantai bawah bisa terdengar dengan jelas, ditambah pintu kamar selalu dalam keadaan terbuka kecuali kalau sudah jam tidur.
Iya, mereka dengan jelas mendengar kalau ada suara tawa anak laki-laki dari lantai bawah, makanya merasa aneh, karena yang mereka tahu semua penghuni sudah masuk ke kamar masing-masing.
“Kamu kalo mau cuci piring sekarang aja, Va,” ucap Yani berselang beberapa menit kemudian setelah keheningan.
“Sekarang? Emang udah bisa dicuci?” tanya Eva.
“Udah,”
“Kok kakak tau?”
“Tau, udah sana,” jawab Yani masih tersenyum.
“Ya sudah, aku turun deh,”
“Mau aku temenin?”
“Gak usahlah, kak. Ngapain berdua-dua,” jawab Eva.
Kemudian Eva melangkah keluar kamar, menuju lantai bawah, ke ruang makan.
Ruang makan sudah nyaris gelap ketika Eva sudah sampai di bawah, lampu utama sudah dalam keadaan mati, penerangan hanya bersumber dari cahaya lampu kecil di ruang tengah dan lampu teras samping yang cahayanya masuk dari sela-sela jendela.
Remang gelap, tapi Eva masih bisa melihat semuanya, termasuk piring kotor di atas meja makan. Benar, Eva melihat piring yang tadinya masih utuh makanannya ternyata sekarang sudah seperti baru saja ada yang makan, menyisakan sedikit sisa makanan saja, gelas yang tadi berisi air putih tadi pun sudah kosong.
“Bener kata Kak Yani, ternyata udah ada yang makan, tapi siapa ya?” Eva bertanya-tanya dalam hati.
“Atau anak yang tadi ketawa ya yang makan?” lagi-lagi Eva bertanya-tanya.
Walau masih bingung, Eva tetap membereskan piring dan gelas itu, membawanya ke dapur untuk dicuci.
Hanya satu piring gelas dan sendok garpu saja, tidak akan lama Eva mencucinya, harusnya seperti itu. Tapi, tiba-tiba Eva harus menghentikan mencuci piring ketika sekali lagi dia mendengar suara tawa, suara yang persis sama dengan yang terdengar ketika masih berada di lantai atas tadi. Kali ini suaranya tentu saja terdengar jadi lebih jelas, karena sepertinya bersumber dari ruang makan yang letaknya dekat dengan dapur.
Sontak Eva langsung menoleh ke belakang, ke arah pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang makan, untuk melihat siapa yang tertawa.
Tapi tidak ada siapa-siapa, tidak ada orang atau anak kecil, ruang makan pun masih gelap ketika Eva mendekat ke pintu dan melihat ke sana.
Kemudian, dengan kebingungan yang masih ada, Eva memutuskan untuk lanjut mencuci.
Tidak lama, kemudian suara tawa anak kecil itu terdengar lagi, kali ini suaranya sangat jelas!, sepertinya sumber suara berada persis di belakang Eva. Sontak Eva langsung menoleh ke belakang..
Saat itulah Eva sempat terdiam, karena melihat ada anak laki-laki berumur sekitar enam atau tujuh tahun sedang berdiri di pintu, pintu menuju ruang makan. Anak laki-laki ini berdiri diam dalam gelap sambil tersenyum, Eva membalas senyumnya.
Eva tidak kenal dengan anak ini, selama sudah seminggu tinggal Eva sama sekali belum pernah melihatnya.
“Hai adik kecil, kamu baru makan ya?” tanya Eva sambil tersenyum
Anak laki-laki itu mengangguk, kemudian tertawa, suaranya persis dengan suara tawa yang Eva dengar sebelumnya.
Kemudian anak itu berlari dalam gelap, menuju ruang tengah.
Eva kemudian mencoba mengejarnya, penasaran, dia ingin tahu hendak ke mana anak itu menuju.
Tapi, sesampainya di ruang tengah, Eva tidak melihat lagi keberadaan anak itu, tidak terdengar juga ada suara pintu tertutup, anak itu seperti hilang begitu saja.
“Ke mana larinya dia?” tanya Eva dalam hati.
Ruang tengah sudah dalam keadaan kosong dan gelap.
Seketika, Eva merinding, tiba-tiba dia merasa ada yang aneh.
Setelah itu Eva memutuskan untuk kembali ke dapur untuk menyelesaikan cuci piring,
Setelah selesai Eva langsung berlari kecil menaiki tangga menuju kamarnya. Namun ketika masih berada di tangga, sekali lagi Eva mendengar tawa anak itu, kali ini suaranya jadi menyeramkan, tapi Eva tidak menggubrisnya, dia terus melangkah menuju kamar.
“Kenapa kamu?” tanya Yani ketika melihat Eva terengah-engah sesudah sampai di kamar.
“Besok aja ceritanya, Kak,” jawab Eva.
Yani tersenyum.
***
Yani dan Eva bersekolah di SMP yang sama, Yani kelas tiga, Eva kelas dua, makanya mereka berangkat berjalan kaki bersama-sama menuju sekolahnya.
“Anak kecil itu siapa, Kak?” Eva akhirnya berani bertanya, membuka percakapan, ketika masih dalam perjalanan.
“Anak kecil yang mana?” Yani balik bertanya.
“Tadi malam benar ternyata makanan di piring itu memang sudah ada yang memakan kak, aku lalu cuci piringnya. Ketika lagi cuci piring, aku dengar suara tawa itu lagi kak, tawa anak kecil. Anak itu yang makan makanannya ya Kak?” tanya Eva lagi.
Yani hanya tersenyum, lalu menjawab “iya,”
“Siapa dia kak?” Eva bertanya lagi.
“Anak panti juga,”
“Kok aku gak gak kenal? Gak pernah lihat dia di panti,” Eva terus mengejar jawaban.
“Nanti lama-lama kamu juga kenal,” jawab Yani, lagi-lagi sambil tersenyum.
“Ah, kakak ini masih aja ada rahasia,” ucap Eva, menutup percakapan ketika mereka akhirnya sampai di sekolah.
***
Itulah episode pertama dari “Panti Asuhan”, cerita awal dari banyak fragmen seram yang tertaut jadi satu cerita panjang yang penuh dengan kengerian. Yani dan kawan-kawan akan berbagi cerita semua pengalaman mereka ketika tinggal di Panti Asuhan itu.
Sekian cerita malam ini, tetap sehat, jaga hati dan perasaan diri sendiri dan orang lain.
Salam
~Brii~